'/>

Saturday 22 November 2014


Ayolah perdengarkan sebentar-sebentar saja, barang hanya sejenak tentang lesat-lesat semburat jingga di garis ufuk yang bersudut barat yang sedang bercengkerama dengan diriku sekarang ini, mereka ternyata selidik tahu jika aku tidak sedang menikmati mereka, mereka tahu kalau aku tidak sedang bersenang-senang di detik-per detik ujung sayunya menuju ke arah pudar lalu berlanjut menghitam pekat kemudian hilang tanpa ada berbekas, benarlah kau... Aku tidak sedang berbahagia melihat apa yang sebahagian besar para manusia menamainya dengan "sunset yang berparas indah", jika lebih dari ingin sekadar sebentar saja kau mau meluang cermat, cermatilah... Pada arak-arakan awan gumawan yang berbasuh bias warna jingga matang itu seperti sedang berlomba-lomba berberat lambai, seperti tak ingin dia hanya muncul pada saat penghabisan hari saja, yang hanya sebentar sekedar menjadi gincu penghias sendunya matahari ingin bersalam pisah,

"Aih, bukan bermaksud aku ingin berbantah menyela tentang takdir tugas yang diembankan kepadaku, tapi menjadi sesobek sinar penghabisan yang dicipta hanya sekadar redup-redup seperti ini sangatlah mengesalkan barang sekali-kali, kau tahu kenapa hei manusia? Karena aku berberat hati hanya sebentar saja muncul lalu bersudah enyah begitu saja, rampung sudah! Sedangkan kalian akan bersenang-senang memotretiku, berpose dengan segala riuh ceria perasaan kalian, kadang bahkan aku sempat mendapati diriku sedang beriri hati kepada kalian ini, kalian setelah menyelesaian urusan memandangiku di tempat yang bernama senja ini kalian akan berpulang ke rumah masing-masing, banyak kalian tertawa bersama-sama sambil berpaling menapak langkah menjauhiku, yang sebenarnya tak usah kau pergi dahulu aku pasti akan menghilang sendiri, kalian akan gampang hati menamai kesenangan ini sebagai sesuatu yang berakhir dengan indahnya saat bersamaan aku yang sedang dilenyap waktu, ah cepatlah kau sela aku tak akan rampung merajuk-rajuk!" Si semburat sisa letupan sinar panggang nan bengis matahari tadi siang itu mencoba mendesakku tanda pintanya untuk menimbrung berbalik pendapat.

"Oh, tidak kami sebagai pemuji ketiadataraan indahnya dirimu meski hanya segores atau kadang hanya nampak setengah sisa gorespun tidak pernah mendapati kami akan bertindak angkuh seperti itu, kami tentulah tetap cermat merasai apa saja dari sekadar siak wasangkamu kalau kami hanya menjadi penikmat senja belaka, kau lebih dari sekedar pengindah mata, penyejuk jiwa dan peneduh hati, saking sebagian dari kami saja yang tak bisa menggelar cakap atau bisa dengan mudahnya menawarimu untuk mendekat, menyesap secangkir teh bersama-sama kami, tentulah kami sangat sekali ingin lebih berakrab-akrab denganmu daripada sekadar memandangimu saja, ayolah jangan terus-terus bermendung murung, akan tambah digesa gelap saja nanti paras senja yang kami elu-elukan ini..."

Dia, si semburat yang tadi berkilat-kilat menyala kesal tapi tetap terpandang indah pada kami itu tak balik menyahut, malah kini digerus pudar mereka berlaun lambat merayap lenyap, tak berpamit...

"Ah sudahlah, besok akan aku teruskan dengan diperjelas, saat kembali bersua dan bercakap dengan kau ini wahai si selendang senja cantik, bahwa aku tetap salah seorang manusia yang akan tetap mencinta kalian hei si semburat jingga yang berkelebat-kelebat dengan eloknya setiap senja, akan kuberitahu kalian bahwa sebenar-benar jujur, hanya kalianlah sesuatu yang keemas-emasannya jauh maha tinggi dan lebih berharga dari logam mulia yang malah dari sejak awal dinamai emas itu, tunggulah di sini lagi pada esok hari, aku akan membujuk mesra kau untuk memudarkan semua kekesalanmu pada dirimu sendiri, yang kau harus lakukan adalah titi cermat memandang lalu mengenali dirimu sendiri yang simpanan indahnya belum benar-benar kau kenali, ah habis tara untuk menggambarkan gemulai pancaran indahmu dengan sekadar kata-kata."


Selamat menjelang petang wahai semburat berkilat jingga yang memburai indah nan elok melekuk cantik.

“Ô, Sunlight! The most precious gold to be found on Earth.”  Roman Payne

Posted on Saturday, November 22, 2014 by Unknown

No comments

Friday 14 November 2014

"Hei bang, dari sini Merapi itu terlihat kecil ya?"

"Padahal sebenar misal kitalah sesuatu yang mirip segores titik yang kecilnya tak berkesudahan, ya andaikata semesta ini menyerupa berlembar-lembar hikayat yang ceritanya tak habis didongeng beberapa turunan masa kita hanyalah berupa tanda bacanya saja, ada tapi tak dipedulikan hikmah."

" Tapi pekik pikirku menyelasar beda bang, adanya kita menurutku malah membuat lembaran hikayat-hikayat itu jadi lebih indah dibacakan, bukankah hikayat akan diverbalkan mengalur terstruktur? Nah saat kita bertutur butuh jeda, butuh sebentar-sebentar menyeru, memekik lewat tanda pukul, koma dan spasi yang bertaut menyambungkan kata perkata menuju cerita, biar berirama, yang jelas penyingkat cerita untuk segera mudah dipahami dan mudah menemu hikmah di suatu hikayat itu bang, jika tak ada tanda baca akan menjemukan sekali seperti saat kau berbual datar tak berperampungan bang, haha.. "

“Hahaha bisa sajalah kau ini… Ayok cepat turun, matahari mulai bengis saja melarung panasnya naik!”

Aku yang sedari tadi mendengar mereka bercakap, bergelegak tawa, kemudian menyudahi bincang-bincang, lalu melihatnya tatih pelan lanjut menapak turun hanya tetap bisa gagah berdiam tak kenal geming, ah mereka tetap sama saja seperti para manusia-manusia penjejak diriku lainnya, untuk meremukkan bosan karena berat tubuhku yang berbidang maha besar ini tancap akar tegap di tempat tak bisa ke mana-mana, aku akan bersiul, kalau saja mereka tahu angin-angin yang dihembus itulah riuh dendang siulku sedang bermelodi, mereka akan tahu dibalik lain sebenarnya makna tujuku adalah membuat sampah-sampah itu tertiup, membumbung tersapu, meninggi di telan enyah angkasa, aku tak pernah merasa seberkotoran seperti ini meski manusia-manusia ini menginjakiku, tapi aku cemburu pada serak-serak sampah yang tertumpuk menggunung menyaru lekuk bentuk tubuh indahku ini, baiklah usah kupikir aku tak seharusnya berpikir tugasku hanyalah terus menyembul tegap menemani merapi berperangai panas nan eksotis itu kata beberapa para manusia, baiklah aku akan bernyanyi saja,

"Berbalutkan pelita hatimu
di aku di aku dan kamu pasti kan kau melihat aku,
saat ku gapai puncak tertinggi bersama tujuh warna pelangi..."

Epilog

Dan gunung-gunungpun bernyanyi, orkestra alam ditabuh lewat berpoi-poi angin yang menyemilir sejuk dan cecar merdu kicau burung-burung hutan menemani kami menggilas sepanjang sisa urusan menyelesaikan perjalanan kali ini. What a beautiful trip.

Image Stolen from Vinka's Private Archieve
Short Dialogue and Photo Effect by Oten.


Quotes lyric from MALIQ & D'ESSENTIALS 's, Himalaya.

Posted on Friday, November 14, 2014 by Unknown

2 comments

Thursday 13 November 2014

Aku pernah memijak gunung dan mendaki dengan gegapnya ribuan alasan kesenenangan, tapi tak kudapati yang lebih merayu hati dan bisa membuatku tak tanggung membuang cinta di gunung-gunung selain pada perkenalan sesama pejalan yang berakhir karib, kemudian pada aroma rebusan air teh selama bincang-bincang guna penyeduhan rasa akrab yang lebih hangat, dan hal-hal berbasa-basi lainnya.

Hatiku tak benar-benar terantuk jatuh kemudian terserak buang pada pegunungan, tak pernah kudapati sekalipun meski rapatnya belukar semak-semak kusibak berharap menemu makna tentang apa yang sebenarnya kucari di gunung. 

Ya aku menemukan jawabannya, bukan pada karya skulptur Sang Maha Cipta berbentuk bidang bersudut tiga meruncing memuncak ini tapi pada cerita-cerita, pada menyederhanakan kesenangan dalam hal-hal yang menurutku bisa mudah memberi makna seperti di atas tadi.


“All mountain landscapes hold stories: the ones we read, the ones we dream, and the ones we create."
-George Michael Sinclair Kennedy-



Posted on Thursday, November 13, 2014 by Unknown

No comments

Wednesday 12 November 2014

Terlalu banyak nantinya kau dapati cakap cerita dari orang-orang rantau penggadai tenaga dan waktu pada tuan-tuan bandar pengupah, pemilik bidang kerja jikalau pada tempat mereka menimbun keringat sebagai pelumas mata gerigi penggerak usaha untuk berkaya diri majikannya mereka mendapati para tuan-tuan yang berbudi baik, bersahaja, tak beda pandang urusan adil, melayangkan dengan apik tata kebijakan, sampai yang disayang-sayang bak mengelus tangan kanan tuan-tuan itu sendiri.

Kemudian setelah tamat berkisah tentang itu mereka masih akan mengajakmu menuntaskan bagian paling akhir tentang saat-saat mudahnya cara memeras peluh membandingkan kerasnya perasan-perasan milikku dan milikmu,

"Ahoi, beruntungnya mereka-mereka!"

Begitulah jika kita terseret tenggelam alur menikmati kumpulan alkisah mereka, tapi tak kudapati jua barang sepungutpun, meski gusarku cermat menelaah dan menyibak dasar-dasar sisi lain yang kulantun dalam harap harusnya hadir ada dari mereka, ketika kuminta dipaparkan adakah dari mereka yang bisa memetik nikmat, mengukir pahatan kalimat menjadi sebuah definisi apik serupa saat mereka sedang menggaumkan kata-kata pujaan berbau harum pada kala hati mereka terjatuh kepada perawan-perawan ayu penambat pandangan, untuk menjabarkan pekerjaan mereka adalah rumah mereka.

Aku hanya ingin ada yang berkelakar bangga tentang pekerjaan mereka yang bisa seperti rumah bagi mereka, ketika mereka berangkat bekerja berarti pulang ke rumah melabuhkan segenap hati, tempat di mana kau menambatkan hal-hal yang tak kenal bosan dikerjakan setiap hari dengan tulus tanpa berbeban, tempat yang saat ada seseorang bertanya nama tempatmu bekerja kau akan menyahut jawab dengan kata rumah, tempat di mana tidak hanya menemukan sebuntal harapan sekadar menyambung asa untuk mengepul tungku dapur tiap esoknya.
Wishly, the job like my home.

Posted on Wednesday, November 12, 2014 by Unknown

No comments