'/>

Monday 22 December 2014



Sial ini adalah hari Ibu tak ada yang istimewa sekali dari beliau kecuali jutaan pelajaran hidup yang sangat berharga. Ah kalian pasti akan ikut tak suka pada ibuku jika kalian gagal mencontoh sifat-sifat mulia yang beliau miliki.

Aku pernah membenci ibuku karena dia membiarkanku menunggu lama pada segala sesuatu yang kuminta tapi tak terturuti, tapi aku menjadi bisa belajar mengendalikan diri dan bersabar dari beliau.

Aku pernah membentak, menghajar hati ibuku remuk dengan sikap dan perbuatan-perbuatan nakalku sesekali waktu dan tiap kali itu beliau mengajarkanku kelemahlembutan dalam bersikap dan cara menghargai orang lain.

Aku pun sempat malu memiliki ibu seperti dia karena aku seperti menjadi seorang laki-laki tak berguna dalam hal-hal kecil yang biasanya malas kukerjakan, dan aku semakin malu jika tak bisa menjadi berani, hebat, teguh pendirian, selalu semangat, optimis, dan tak mempedulikan rasa lelah untuk berhasil menggapai sesuatu seperti beliau.

Kalian lihat gambarku yang duduk canggung di samping nisannya? Sial itu bukan nisan ibuku aku sempat salah berkunjung makam karena lupa letak makamnya, dasar aku anak tak begitu berbakti, tapi aku tak pernah lupa rasa pijitan lembut dibahuku kala aku merengek kecapaian, aku tak pernah lupa tak sanggup berhitung pada hitungan banyaknya bintang di langit jika harus menghitung satu-satu pelajaran-pelajaran kehidupan berharga yang memancar terang dari beliau.

Terkadang aku masih sering membenci dan ingin meremukkan kenangan-kenangan indah bersama beliau karena ketika teringat aku seperti remuk redam, benci dan malu pada diriku sendiri dengan sering dibarengi suara sesenggukanku. Ketiadaan beliau sekarang ini menjadikanku ingin dilahirkan menjadi Doraemon kemudian berselancar dengan mesin laci waktunya ke masa lalu menebus segala bentuk kenakalan dan rasa kecewanya beliau kuganti dengan bakti tulus penuh hormat dan handal dalam mebahagiakan hatinya.


                     *******************

Sebuah bentuk cerita pendek diperuntukkan bukan untuk Ibu meski ini hari Ibu, untuk mereka yang kurang berbakti dan jarang mencium tangan dan pipi beliau, ayo lekas peluk dan berlomba berbakti selama setiap hari mumpung masih diberi kesempatan dibukakan telapak surga bagimu yang ada dari beliau.




Posted on Monday, December 22, 2014 by Unknown

1 comment

Tuesday 16 December 2014

Aku memang tak bersamamu, pun menyentuh sepersentuhan bayangan jemarimu aku tak bisa bahkan walau hanya di dalam mimpi-mimpi yang kupaksakan kubuat hampir setiap hari, kenapa ini? Entahlah yang kutahu aku begitu menjunjung tinggi sosokmu.


Kau selalu bisa mengisi rasa kekosonganku, dengan potret-potretmu tentang kau yang sedang coba mengajariku nyanyian ombak, dengan kau yang segenap hati menyemangatiku saat kelelahan mengejar sesuatu di depan, dengan kau yang coba menepuk pundakku dengan kata-kata kerelaan beserta segenap besarnya hati saat aku gagal, kecewa dan menghentikan pengejaranku tentang sesuatu yang di depan itu. Dengan aroma kembang senyummu yang khas kau selalu menyela keluhku,


"Tak apalah, setidaknya kita pernah menunjukkan kepada beberapa orang di belakang kita, kita bisa menyalip, melampui dan pernah lebih baik dari mereka!"


Karena itu aku tak pernah ingin pisah dan pergi begitu saja dari kehidupan bersama ini, jitak saja kepalaku jika aku suatu hari akan mengucapkan selamat tinggal untukmu, bahkan aku berani bertaruh dengan segala ketetapan hati!
Kau tidak akan percaya bahwa yang akan aku ungkapkan ini adalah cerita terbaik yang pernah kau dengar selama hidupmu;


Aku tak hanya mengagumi elok paras rupawanmu, lebih dari itu ungkapannya perasaanku kepadamu itu seperti ketika kau begitu bahagianya melihat pantai, laut, pelangi, mimpi-mimpi, bintang jatuh, rumah kayu yang cantik, dan segala imajinasi indah yang pernah bisa kau bayangkan,


Baiklah aku akan coba akur kepada waktu, kepada kesempatan yang tak berpihak, kepada segala yang membatasi gerak mimpi-mimpi dan sebuah harapan, berpura-pura membuat senang hati dengan seperti ini :


Aku memang tak pernah dilahirkan memiliki takdir beratapkan di satu langit yang sedang berawan sama denganmu dan bermain-main membuat napak jejak di satu tanah yang sama pula, tapi aku merasakan kau begitu dekat bersamaku, candamu, tawamu yang kadang terbahak-bahak itu, semangat mimpi-mimpi dan imajinasimu mewujud, menyampai di sekelilingku dengan menyerupa semilir angin yang sebagian kuhirup menjadi separuh nafasku, dan kadang-kadang kau hadir menjadi mataku, lalu bersama-sama menikmati kebahagiaan memandang langit, bintang, awan-awan, laut. Kau hadir dikebahagiaanku manapun, saat aku merasa nyaman dibeberapa kesempatan hidup, merasa diteduhi sesuatu, merasa hangat, aku yakin di situ jugalah kau sedang ada, menjelma penuh menutupi segala rasa kekurangan hati.


Baiklah kita sepakat ya? Jadi aku tetap akan ada bersamamu, di selalu-nya kau merasa aku selalu ada. Dan jika saat-saat tertentu kau sedang tidak mau bersamaku, maka sementara ombak dan nyanyian ini akan menumpah mengisi kekosonganku mengganti dan menanti kau yang ingin lagi bermain-main bersamaku.


"I wasn't yours and you weren't mine
Though I've wished from time to time
We had found a common ground
Your voice was such a welcome sound
How the emptiness would fill
With the waves and with your song
People find where they belong
Or keep on"
Short stories by Sabi, untuk mengesankan satu hati saja di sana. Tidak untuk yang lain-lain, lain hal, lain apapun.
SketchART by Sabi.
Lyric The Wolves and the Ravens by Rogue Valley.

Posted on Tuesday, December 16, 2014 by Unknown

No comments




Tak ada yang lebih nikmat dalam hal rindu-merindu selain menaruhkannya pada aroma perdu rerumputan bukit tua, pada koyak air embun-embun yang meranggas susut malu-malu saat matahari mulai menggelar sinarnya meraih segala apa yang bisa dikenai suam-suam hangat kilatan benderangnya,
pada akasia-akasia sepelemparan batu dari pinggir garis setapak yang bejajar,
yang tak pernah dipenati rasa enggan untuk terus selalu tegak merindang menunggui manusia-manusia yang tak usah peduli lewat kibas di hadapannya, pada bendi besi lusuh berpewarna delima merah kental yang berkecepatan beberapa lipat saja bila boleh dibanding dengan tenaga kanak-kanak, pada satuan segala hal yang membantu merupa apik dan menjadi utuh disangkarkan dalam potret ini, menjadikannya gampang mengutuhkan ingatan saat diriku ingin bersenang-senang balik berkitar ke ruang kenang seperti saat ini.


"We do not remember days; we remember moments."
~Cesare Pavese, The Burning Brand

Posted on Tuesday, December 16, 2014 by Unknown

No comments

Tuesday 2 December 2014





Di tengah hiruk sibuknya sang dewi petang menjaringkan warna pekatnya memalamkan hari, tampak samar-samar hitam putih suasana kota kecil yang riuhnya temaram saja ini mulai menampakkan suasana-suasana meriah dengan sederhana, tidak begitu bersorak dengan gaduh khas kota-kota besar lainnya, pun tak pula tanggung bersepi menjelma lengang begitu saja, saya rasa hanya sedikit bagian hati saya yang begitu riuhnya menyenyapkan diri, tapi tak lama jua teralun, terseret, ikut mengirama ke suasana yang dijamukan kepada saya ini, menjadikan sedikit terobati tentang kerinduan kepada beberapa handai karib saya di kampung sana. 


Tak butuh lama saya mengirimkan pesan singkat semoga cepat bertemu merencanakan hajatan menyeduh teh hangat dan kopi kental hitam yang manisnya sedikit saja dengan hingar bingar gemerlap sorot lampu dari para pengendara yang melintas di saat kami tepat di sisi bahu jalan paling tepian menjejali diri dengan gorengan, nasi kucing, mungkin juga rokok, dan obrolan-obrolan dari hal tak berkepentingan apapun, di atas gelaran tikar yang melandai lusuh pijak alas kami dalam berbetah diri duduk-duduk di wedangan hik seperti terdahulu sebelum-sebelumnya di lampau lalu. Cepat bertemu, semoga senang.



Donohudan, 02 Bulan 12 'Empatbelas.
Oten.


Posted on Tuesday, December 02, 2014 by Unknown

No comments

Saturday 22 November 2014


Ayolah perdengarkan sebentar-sebentar saja, barang hanya sejenak tentang lesat-lesat semburat jingga di garis ufuk yang bersudut barat yang sedang bercengkerama dengan diriku sekarang ini, mereka ternyata selidik tahu jika aku tidak sedang menikmati mereka, mereka tahu kalau aku tidak sedang bersenang-senang di detik-per detik ujung sayunya menuju ke arah pudar lalu berlanjut menghitam pekat kemudian hilang tanpa ada berbekas, benarlah kau... Aku tidak sedang berbahagia melihat apa yang sebahagian besar para manusia menamainya dengan "sunset yang berparas indah", jika lebih dari ingin sekadar sebentar saja kau mau meluang cermat, cermatilah... Pada arak-arakan awan gumawan yang berbasuh bias warna jingga matang itu seperti sedang berlomba-lomba berberat lambai, seperti tak ingin dia hanya muncul pada saat penghabisan hari saja, yang hanya sebentar sekedar menjadi gincu penghias sendunya matahari ingin bersalam pisah,

"Aih, bukan bermaksud aku ingin berbantah menyela tentang takdir tugas yang diembankan kepadaku, tapi menjadi sesobek sinar penghabisan yang dicipta hanya sekadar redup-redup seperti ini sangatlah mengesalkan barang sekali-kali, kau tahu kenapa hei manusia? Karena aku berberat hati hanya sebentar saja muncul lalu bersudah enyah begitu saja, rampung sudah! Sedangkan kalian akan bersenang-senang memotretiku, berpose dengan segala riuh ceria perasaan kalian, kadang bahkan aku sempat mendapati diriku sedang beriri hati kepada kalian ini, kalian setelah menyelesaian urusan memandangiku di tempat yang bernama senja ini kalian akan berpulang ke rumah masing-masing, banyak kalian tertawa bersama-sama sambil berpaling menapak langkah menjauhiku, yang sebenarnya tak usah kau pergi dahulu aku pasti akan menghilang sendiri, kalian akan gampang hati menamai kesenangan ini sebagai sesuatu yang berakhir dengan indahnya saat bersamaan aku yang sedang dilenyap waktu, ah cepatlah kau sela aku tak akan rampung merajuk-rajuk!" Si semburat sisa letupan sinar panggang nan bengis matahari tadi siang itu mencoba mendesakku tanda pintanya untuk menimbrung berbalik pendapat.

"Oh, tidak kami sebagai pemuji ketiadataraan indahnya dirimu meski hanya segores atau kadang hanya nampak setengah sisa gorespun tidak pernah mendapati kami akan bertindak angkuh seperti itu, kami tentulah tetap cermat merasai apa saja dari sekadar siak wasangkamu kalau kami hanya menjadi penikmat senja belaka, kau lebih dari sekedar pengindah mata, penyejuk jiwa dan peneduh hati, saking sebagian dari kami saja yang tak bisa menggelar cakap atau bisa dengan mudahnya menawarimu untuk mendekat, menyesap secangkir teh bersama-sama kami, tentulah kami sangat sekali ingin lebih berakrab-akrab denganmu daripada sekadar memandangimu saja, ayolah jangan terus-terus bermendung murung, akan tambah digesa gelap saja nanti paras senja yang kami elu-elukan ini..."

Dia, si semburat yang tadi berkilat-kilat menyala kesal tapi tetap terpandang indah pada kami itu tak balik menyahut, malah kini digerus pudar mereka berlaun lambat merayap lenyap, tak berpamit...

"Ah sudahlah, besok akan aku teruskan dengan diperjelas, saat kembali bersua dan bercakap dengan kau ini wahai si selendang senja cantik, bahwa aku tetap salah seorang manusia yang akan tetap mencinta kalian hei si semburat jingga yang berkelebat-kelebat dengan eloknya setiap senja, akan kuberitahu kalian bahwa sebenar-benar jujur, hanya kalianlah sesuatu yang keemas-emasannya jauh maha tinggi dan lebih berharga dari logam mulia yang malah dari sejak awal dinamai emas itu, tunggulah di sini lagi pada esok hari, aku akan membujuk mesra kau untuk memudarkan semua kekesalanmu pada dirimu sendiri, yang kau harus lakukan adalah titi cermat memandang lalu mengenali dirimu sendiri yang simpanan indahnya belum benar-benar kau kenali, ah habis tara untuk menggambarkan gemulai pancaran indahmu dengan sekadar kata-kata."


Selamat menjelang petang wahai semburat berkilat jingga yang memburai indah nan elok melekuk cantik.

“Ô, Sunlight! The most precious gold to be found on Earth.”  Roman Payne

Posted on Saturday, November 22, 2014 by Unknown

No comments

Friday 14 November 2014

"Hei bang, dari sini Merapi itu terlihat kecil ya?"

"Padahal sebenar misal kitalah sesuatu yang mirip segores titik yang kecilnya tak berkesudahan, ya andaikata semesta ini menyerupa berlembar-lembar hikayat yang ceritanya tak habis didongeng beberapa turunan masa kita hanyalah berupa tanda bacanya saja, ada tapi tak dipedulikan hikmah."

" Tapi pekik pikirku menyelasar beda bang, adanya kita menurutku malah membuat lembaran hikayat-hikayat itu jadi lebih indah dibacakan, bukankah hikayat akan diverbalkan mengalur terstruktur? Nah saat kita bertutur butuh jeda, butuh sebentar-sebentar menyeru, memekik lewat tanda pukul, koma dan spasi yang bertaut menyambungkan kata perkata menuju cerita, biar berirama, yang jelas penyingkat cerita untuk segera mudah dipahami dan mudah menemu hikmah di suatu hikayat itu bang, jika tak ada tanda baca akan menjemukan sekali seperti saat kau berbual datar tak berperampungan bang, haha.. "

“Hahaha bisa sajalah kau ini… Ayok cepat turun, matahari mulai bengis saja melarung panasnya naik!”

Aku yang sedari tadi mendengar mereka bercakap, bergelegak tawa, kemudian menyudahi bincang-bincang, lalu melihatnya tatih pelan lanjut menapak turun hanya tetap bisa gagah berdiam tak kenal geming, ah mereka tetap sama saja seperti para manusia-manusia penjejak diriku lainnya, untuk meremukkan bosan karena berat tubuhku yang berbidang maha besar ini tancap akar tegap di tempat tak bisa ke mana-mana, aku akan bersiul, kalau saja mereka tahu angin-angin yang dihembus itulah riuh dendang siulku sedang bermelodi, mereka akan tahu dibalik lain sebenarnya makna tujuku adalah membuat sampah-sampah itu tertiup, membumbung tersapu, meninggi di telan enyah angkasa, aku tak pernah merasa seberkotoran seperti ini meski manusia-manusia ini menginjakiku, tapi aku cemburu pada serak-serak sampah yang tertumpuk menggunung menyaru lekuk bentuk tubuh indahku ini, baiklah usah kupikir aku tak seharusnya berpikir tugasku hanyalah terus menyembul tegap menemani merapi berperangai panas nan eksotis itu kata beberapa para manusia, baiklah aku akan bernyanyi saja,

"Berbalutkan pelita hatimu
di aku di aku dan kamu pasti kan kau melihat aku,
saat ku gapai puncak tertinggi bersama tujuh warna pelangi..."

Epilog

Dan gunung-gunungpun bernyanyi, orkestra alam ditabuh lewat berpoi-poi angin yang menyemilir sejuk dan cecar merdu kicau burung-burung hutan menemani kami menggilas sepanjang sisa urusan menyelesaikan perjalanan kali ini. What a beautiful trip.

Image Stolen from Vinka's Private Archieve
Short Dialogue and Photo Effect by Oten.


Quotes lyric from MALIQ & D'ESSENTIALS 's, Himalaya.

Posted on Friday, November 14, 2014 by Unknown

2 comments

Thursday 13 November 2014

Aku pernah memijak gunung dan mendaki dengan gegapnya ribuan alasan kesenenangan, tapi tak kudapati yang lebih merayu hati dan bisa membuatku tak tanggung membuang cinta di gunung-gunung selain pada perkenalan sesama pejalan yang berakhir karib, kemudian pada aroma rebusan air teh selama bincang-bincang guna penyeduhan rasa akrab yang lebih hangat, dan hal-hal berbasa-basi lainnya.

Hatiku tak benar-benar terantuk jatuh kemudian terserak buang pada pegunungan, tak pernah kudapati sekalipun meski rapatnya belukar semak-semak kusibak berharap menemu makna tentang apa yang sebenarnya kucari di gunung. 

Ya aku menemukan jawabannya, bukan pada karya skulptur Sang Maha Cipta berbentuk bidang bersudut tiga meruncing memuncak ini tapi pada cerita-cerita, pada menyederhanakan kesenangan dalam hal-hal yang menurutku bisa mudah memberi makna seperti di atas tadi.


“All mountain landscapes hold stories: the ones we read, the ones we dream, and the ones we create."
-George Michael Sinclair Kennedy-



Posted on Thursday, November 13, 2014 by Unknown

No comments

Wednesday 12 November 2014

Terlalu banyak nantinya kau dapati cakap cerita dari orang-orang rantau penggadai tenaga dan waktu pada tuan-tuan bandar pengupah, pemilik bidang kerja jikalau pada tempat mereka menimbun keringat sebagai pelumas mata gerigi penggerak usaha untuk berkaya diri majikannya mereka mendapati para tuan-tuan yang berbudi baik, bersahaja, tak beda pandang urusan adil, melayangkan dengan apik tata kebijakan, sampai yang disayang-sayang bak mengelus tangan kanan tuan-tuan itu sendiri.

Kemudian setelah tamat berkisah tentang itu mereka masih akan mengajakmu menuntaskan bagian paling akhir tentang saat-saat mudahnya cara memeras peluh membandingkan kerasnya perasan-perasan milikku dan milikmu,

"Ahoi, beruntungnya mereka-mereka!"

Begitulah jika kita terseret tenggelam alur menikmati kumpulan alkisah mereka, tapi tak kudapati jua barang sepungutpun, meski gusarku cermat menelaah dan menyibak dasar-dasar sisi lain yang kulantun dalam harap harusnya hadir ada dari mereka, ketika kuminta dipaparkan adakah dari mereka yang bisa memetik nikmat, mengukir pahatan kalimat menjadi sebuah definisi apik serupa saat mereka sedang menggaumkan kata-kata pujaan berbau harum pada kala hati mereka terjatuh kepada perawan-perawan ayu penambat pandangan, untuk menjabarkan pekerjaan mereka adalah rumah mereka.

Aku hanya ingin ada yang berkelakar bangga tentang pekerjaan mereka yang bisa seperti rumah bagi mereka, ketika mereka berangkat bekerja berarti pulang ke rumah melabuhkan segenap hati, tempat di mana kau menambatkan hal-hal yang tak kenal bosan dikerjakan setiap hari dengan tulus tanpa berbeban, tempat yang saat ada seseorang bertanya nama tempatmu bekerja kau akan menyahut jawab dengan kata rumah, tempat di mana tidak hanya menemukan sebuntal harapan sekadar menyambung asa untuk mengepul tungku dapur tiap esoknya.
Wishly, the job like my home.

Posted on Wednesday, November 12, 2014 by Unknown

No comments

Tuesday 7 October 2014

Biasanya akan selalu ada cerita lain saat menceritakan cerita, saat menceritakan tentang pendakian Lawu aku tak akan benar-benar bercerita tentang pendakiannya tapi aku akan bercerita tentang wajah-wajah ayu nan kepayahan yang ingin berusaha berjuang menerobos jalanan setapak penuh liku batu, menanjak, curam, berdebu, yang ingin berjuang menerobos batas-batas diri. Wajah-wajah yang terlalu lugu untuk mengenal kata lelah yang terlalu, wajah-wajah yang sebelumnya harus dipaksa untuk mengerti nilai sebuah keprihatinan, wajah-wajah yang sebelumnya sukar untuk diajak mengenal kejadian bersusah-susah diri, wajah-wajah yang sebelumnya tak begitu tahu bagaimana menghargai jerih payah yang amat menyakitkan tatkala tahu langkah kaki yang berjalan itu tak selamanya berjalan di tanah ataupun jalanan yang lurus-lurus saja, jalanan yang datar tak bertantangan, dan yang sebelumnya tak pernah memberi arti bahwa setiap langkahmu ketika bersamaan kau cucurkan keringat di situlah ada sebuah harga perjuangan yang tak mudah di raih tapi sebenarnya terus menempa rasa optimis kita untuk mau berjuang lebih keras lagi meraih sesuatu.




Wajah-wajah cantik yang terlalu sayang jika dibedaki oleh alam dengan serbukan bubuk debu pegunungan yang kadang bisa menyebabkan sesak nafas dan menjadi batuk, tapi sepertinya mereka tak hirau dan beberapa jam kemudian alam malah lebih memoles mereka dengan cantik lagi dengan make up semangat, ketegarangan, rasa harus terus selalu terlihat optimis, dan make up - make up yang menjadikan hati mereka semakin terlihat cantik. Hanya saat di tengah-tengah jalan setapak berdebu menanjak berbatu di tengah-tengah hutan gunung di tengah-tengah rasa lelah kepayahan yang kadang harus membuat beberapa dari kita sesak menahan mata yang berkaca-kaca perih, kita akan melihat seorang wanita memancarkan sisi kecantikan abadi mereka yang entah itu berasal dari hati mereka, semangat mereka, ataupun rasa tegar mereka. Yang pasti kau tetap pasti akan melihatnya.


Saat aku ingin bercerita tentang suatu malam di jalur pendakian Lawu, aku ingin bercerita tentang serangan udara dingin yang membabi buta, tentang untuk yang pertama kalinya aku melihat mereka merengek, pertama kalinya aku melihat wajah kecapaian yang berusaha mengumpat mengutuki penat yang dari peluh-peluh mereka jalanan setapak yang tandus dan berdebu bisa menjadi basah gembur seperti habis disapu gerimis hujan hutan gunung yang datang hanya kala-kala. Saat aku ingin bercerita tentang suatu malam di jalur pendakian Lawu, aku ingin bercerita tentang sendawa dan kentut yang gencar meledak di tengah-tengah dari mereka yang cantik-cantik dan dari kami yang tengah mengelilingi api unggun yang anggun, yang sedang berusaha mengakrabkan diri, kemudian setelahnya karena itu kami terbahak-bahak tanpa beban bersalah dan malah hal itu membuat kami semakin intim mengenal masing-masing sisi dari sifat lain yang sehari-hari sebelumnya disembunyikan rapat. Sepertinya malam itu kami tak mengenal sekat atau batas di mana harusnya kami sudah harus cukup merasa akrab, kemudian yang terjadi yang tak akrab berusaha mengakrab-akrabkan diri, yang sudah akrab ingin lagi berkeras diri untuk lebih mengkrabkan diri, yang sudah sangat akrab ingin lagi berusaha menunjukkan akrabnya adalah yang terbaik di antara yang lain. kemudian akrab menjadi karib, dan malam itu malam di mana kami seperti terlahir tanpa mengenal jarak, jikapun tadinya berjarak, jaraknya melebur, terpanggang menjadi abu, kemudian menguap hilang tak berbekas di dalam gemeratak api unggun yang menyalakan keakraban dan menghangatkan rasa kebersamaan yang indah yang dulu-dulu tidak mungkin terpikirkan akan seakrab ini.

Terima-kasih untuk bincang-bincang akrabnya, terima-kasih untuk secangkir teh atau wedang jahe yang beraroma perkawanan indah yang tiap teguknya menghangatkan urat dan pita tenggorokan lalu menjadikan kita semua bisa berbincang-bincang lebih lama tentang semua hal sepanjang malam saat itu secara lebih akrab. Terima-kasih untuk kesediaan kalian menjajal bersusah-susah diri dan mencoba bersenang-senang dengan keprihatinan.





Beauty is certainly a soft, smooth, slippery thing, and therefore of a nature which easily slips in and permeates our souls. - Plato, Lysis

Posted on Tuesday, October 07, 2014 by Unknown

No comments

Wednesday 2 April 2014



Petualangan kembali di mulai,

Lawu lagi lawu lagi, berpetualang lagi berpetualang lagi :D


Aku sendiri bukan seseorang dengan jiwa petualang yang baik, seseorang yang hanya gampang terpengaruh oleh bisikan-bisikan halus dalam bentuk rayuan teman-teman yang tangguh dan hebat, terima kasih untuk teman-temanku yang sudah menjadi sahabat yang baik bagiku :D


Dan sekali lagi curamnya gunung lawu tidak lebih tinggi dari semangat kami untuk menjejakan sejarah kami sebagai salah satu dari sekian pendaki penakluk puncak lawu, untuk beberapa kalinya. hoyak hoyak :D


Jam 4.30 sore aku berangkat naik motor dapet pinjeman dari seorang kakak yang ganteng, baik hati, dan suka makan soto; Dia adalah jeng jeng jeng : Faiz Lare Angon, halo bang Faiz semoga tetap sehat selalu, tetap bisa jadi kakak yang baik hati dengan sering2 mentraktir tahu kupatnya, amien.


Pukul 05.30 sore tepat aku pun sudah tiba di base camp jalur pendakian gunung Lawu, Cemoro Kandang, tidak ada yang berubah sama sekali saat kali terakhir 3 bulan yang lalu aku berkunjung ke gunung Lawu untuk berkamping di pos 2 yang juga berada di jalur pendakian Cemoro Kandang ini. Bisa lebih cepat karena lalu lintas gak begitu padat seperti hatiku yang lagi macet karena overload kebanyakan memikirkan kamu. Ahaha.


Memang benar ternyata kenyataan hidup itu tak seindah, seiya, sekata seperti apa yang kita bayangkan, gak tau itu indah anaknya siapa, kenyataannya dia hidup, hahahapaan sih :D



Setelah semua rombongan berkumpul dan lengkap berjumlah 17 buah anak manusia sesuai dengan daftar antrian sembako yang telah ditulis dan disepakati kita bersiap untuk segera berangkat membawa misi pendakian ke puncak seperti harapan dan cita-cita kami sebelumnya yang sudah jauh jauh kami rencanakan sebelum kami lahir, eh.. :D tapi beberapa puluh detik setelah persiapan akhir tersebut cuaca eskrim maknum infiniti (nyomot istilah dari teman saya) eh ekstrim ding, kembali dengan galaknya ramah menyapa kami, hujan langsung dateng begitu deras sekali seperti satu gayung air yang langsung dicurahkan dengan cepat dan kuatnya menyapu dan menyentor wc saat aku sedang buang air besar, belum lagi badai, guntur, kilat, halilintar yang cetar membahanong.. dan hanya diperlukan waktu sekitar 6 jam kemudian, (iya Cuma 6 jam -_- saja) untuk bisa kembali merangkai harapan dan impian kami tentang indahnya menikmati tanjakan di jalur setapak berbatu yang panjang, terjal, berliku, berbahaya dan hanya mampu dilalui dan dilakukan oleh para pemimpi professional ini. Apalagi bagi sebagian dari kami ini adalah merupakan malam puncak untuk malam pertama kami mendaki, deg-degan, gemetaran, gugup, dan gelisah tapi seneng-seneng gimana gitu haiyah haiyah persis seperti pengantin baru yang lagi baru-barunya pertama masuk kamar pengantin hokya hokya opo kui :D


Detik-detik menjelang proklamasi eh persiapan akhir




So.. bakso so so miso sooooo… kita akhirnya berhasil berangkat setelah menunggu redanya hujan dan cuaca kembali bersahabat (bersahabat? Sok kenal -_- ) tepat saat aku nengok jam tangan temanku yang menunjukkan pukul 02.30 dini hari waktu setempat sodara-sodara.


Sekali lagi kita prepare, cek ulang semua peralatan perang kami untuk bertempur melawan kabut dingin, tanjakan terjal, dan jalur setapak yang penuh kesulitan untuk menguji  tangguhnya stamina fisik dan tekad dari jiwa petualang kami :D


Setelah pengecekan ulang dan melewati tahap seleksi eliminasi dan semua dari kami sudah genap, gak ada yang ilang, sehat, dan masih normal semua, gak ada yang galau tiba-tiba curhat pacarnya ilang diambil orang atau apa banget gitu, kami pun segera mungkin tanpa pake lama-lama setelah mengadakan ritual berdoa bersama langsung mulai menyikat abis salah satu jalur pendakian dari 2 jalur utama yang disajikan oleh gunung Lawu ini. Bismillahirahmanirahim..

Jadi tepat sekitar pukul 03.00 dini hari kami mulai melakukan pendakian. Kali inilah merupakan petualangan mendaki pertamaku yang di mulai sebegitu paginya.
 
Break sejenak ditengah jalur pendakian

Aku yang sudah ketiga kalinya make jalur ini, saat beberapa kesempatan yang lalu juga sedang mencicipi menu petualangan mendaki, sudah tidak asing lagi mengenali jalur tempuh dan beberapa jurus antisipasi kesulitan lainnya yang disajikan dengan apik oleh jalur yang lumayan safety dari segi kecuraman dan keterjalanan jalurnya ini. Jadi tidak memakan banyak waktu untuk menyesuaikan diri menghadapi beberapa kesulitan saat menggunakan jalur ini.


Karena kehalang oleh kondisi cuaca yang eskrim maknum infiniti (istilah temenku), akhirnya misi kali ini di planning ulang dan hasilnya disepakati bahwa target tidak wajib mencapai puncak dan maksimal kita hanya mendaki sampai di pos 3, tapi gimanapun tidak mengurangi serunya aktifitas petualagan kami menjelajahi gunung lawu salah satu maha karya Tuhan yang indah yang menyajikan alam beserta segala macam hal yang menakjubkan bagi jiwa petualang kami ini.


Oiya tipsnya ketika mendaki gunung saat musim penghujan gini mesti lebih berhati-hati karena otomatis medan menjadi becek, gembur, dan rawan longsor, serta peralatan harus lebih komplit dari biasanya tenda jangan sampe lupa banget, jas hujan, obat-obatan yang berkaitan dengan flu khususnya, dan stamina harus disiapin lebih fit dari biasanya, kalau kita lagi dipertengahan jalur mendaki dan keadaan hujan tapi tidak begitu deras lebih baik tetap berjalan atau sekadar menggerakkan badan supaya tidak gampang terserang rasa dingin yang bisa memicu gejala serangan hipotermia atau sebuah kondisi dimana mekanisme tubuh untuk pengaturan kondisi sulit mengatasi tekanan melawan suhu dingin, kecuali menemukan pos atau gubuk untuk berteduh dan memungkinkan kita membuat api unggun, bawa perbekalan makanan yang bisa menunjang stamina kita saat sedang beraktifitas di musim hujan seperti makanan yang mengandung bahan kedelai, susu, dan kacang-kacangan eh kacang betulan lho maksudnya.



Aku malah lebih menghawatirkan beberapa teman kami yang dalam pendakian kali ini adalah venue perdana mereka mencoba berpetualang dengan mendaki ini, khususnya para cewek.


Aku salut kepada mereka, banyak keterbatasan fisik yang seharusnya tidak mengizinkan mereka untuk memaksakan diri melakukan salah satu aktifitas ekstrim ini justru malah yang lebih semangat-semangatnya. Terjatuh, terpelanting, terpeleset, kram, terkilir, hampir sesak nafas, dan lain sebagainya tetap tidak meruntuhkan wajah-wajah ayu mereka untuk tetap mengembangkan senyum dengan anggunnya. Hei para cowok masa kini yang mendambakan cewek solihah dan tahan banting yang cocok buat dijadiin calon ibu untuk anak-anak kalian; merekalah wanita-wanita tepat untuk dijadikan idaman kalian Ciuw ciuw :D



Pernah melihat orang yang menjadikan hujan sebagai payung mereka? Itulah kami, hujan malah bagai seperti menyelimuti tubuh kami, membasuh dan menyamarkan tetesan peluh dan keringat yang menggenang di tengah upaya kami melawan rasa lelah dan penat, seperti hujan ingin melindungi kami dari cibiran rasa kelelahan tersebut.


Dingin sih dingin, capek sih capek, dan gimanapun cuaca dan kondisinya tetep gak bisa bikin kami gentar serta mundur gitu aja untuk berpetualang dan menerima tantangan yang ada. 



Setiap para pendaki mempunyai cerita unik dan lebih keren dibandingkan dengan serunya film 5 cm, Into The Wild, atau film-film petualangan lainnya. Setiap para pendaki mempunyai cerita yang bisa dibagi sebagai oleh-oleh yang gak pernah bisa habis kepada teman-teman dan semua orang. Cerita petualangan yang gak bakal lekang oleh waktu, yang tetap ada lintas zaman dan tidak usang atau kadaluwarsa untuk dikonsumsi kembali oleh anak cucu kita sebagai kisah yang mudah dicerna moral mereka dengan baik yang mempunyai kandungan gizi lezat tentang petualangan, jiwa pemberani, indahnya persahabatan, hati yang penuh cinta : alam, lingkungan, sesama, nikmatnya rasa berbagi, belajar menolong dan mendahulukan kepentingan orang lain disaat kita sendiri sedang sulit sekalipun, dan akan selalu menarik walau kisah ini akan kita di ceritakan ulang, di ceritakan lagi, dan lagi..


Kami adalah mereka yang suka berpesta di tengah sunyi dan tenangnya hutan pegunungan yang jauh dari gemerlap peradaban, kami adalah mereka yang suka berfoya-foya dengan satu cangkir teh hangat dan mie instant rebus hasil memasak dari peralatan sederhana yang menyalakannya memerlukan perjuangan tersendiri, Kami adalah mereka yang suka bermalas-malasan dibawah teduhan gubuk kecil atau tenda kemah yang dikepung oleh dinginnya kabut tebal dan air hujan sekaligus.

Kami adalah mereka yang suka memanjakan diri didekat gemeratak kayu yang di bakar menjadi api unggun untuk sekadar mengusir rasa dingin, penat dan kecapaian yang seru diantara sela-sela tetes-tetes embun dingin pegunungan.


 
Hangat bercengkerama ditengah jeda istirahat pendakian


“A man on foot, on horseback or on a bicycle will see more, feel more, enjoy more in one mile than the motorized tourists can in a hundred miles.” ~ Edward Abbey


“Seseorang yang berpetualang dengan kaki mereka, pada punggung kuda, atau dengan bersepeda bisa memandang lebih banyak, merasakan lebih banyak , dan menikmati perjalanan lebih banyak walau hanya dalam satu mil daripada mereka para pelancong yang mengendarai kendaraan bermotor yang sudah menempuh jarak ratusan mil jauhnya”

~Edward Abbey



Dibuang sayang :





 

Posted on Wednesday, April 02, 2014 by Unknown

No comments

Wednesday 1 January 2014

Beberapa hari ini banyak yang update status atau sekadar berbagi info entah dipesbuk, tuiter, microsoft word (lho?) ataupun situs jejaring sosial lainnya tentang malam tahun baru, liburan tahun baru, menyambut tahun baru, saya pun gak mau kalah ikut-ikutan rame malah banyakin baca doa semoga nanti malam pergantian tahun baru gak hujan tapi bedanya mereka doa sambil pegang terompet, kembang api, atau pernak pernik wah untuk ritual malam tahun baru saya malah cuma bisa pegang satu tas yang gak gede amat yang cuma bisa diisiin botol aq*a 1,5 literan, parafin, beberapa bungkus mie instant sama sarung.

Ya, saya ingin mencoba menghabiskan malam pergantian tahun baru masehi ini dengan sesuatu yang berkesan beda.

Saya mencoba untuk melatih ego saya untuk tidak iri ketika yang lain 'ngalor-ngidul' sambil niup terompet, nyalain kembang api dan tertawa-tawa riang dengan berkumpul bersama teman atau keluarga ditengah hiruk pikuknya sebuah gebyar acara yang dipadati ribuan orang ditengah-tengah kota dengan membandingkan saya yang nanti akan memeras keringat menghalau pekatnya kabut malam yang dingin bahkan kabut yang cenderung mengembun basah seperti menjadi percik-percik air hujan, dingin dan basah. Saya yang nanti harus berjuang menjaga keseimbangan untuk tidak terpeleset atau jatuh kekubangan air, yang meraba-raba jalanan setapak berbatu cadas dan keras dengan penerangan senter kecil seadanya, yang mencoba terlihat menikmati rebusan kopi dengan alat survival sederhana saat badan menggigil kedinginan gak karuan, yang coba membuat berisik di tengah pohon-pohon liar nan kokoh yang membisu angkuh di sekeliling alam bebas tempat saya berpijak. Mungkin terbayang kontras sekali dengan orang-orang yang menghabiskan malam tahun barunya dengan memadati area hiburan atau kawasan acara ramai ditengah-tengah kota yang dipenuhi gemerlap kembang api dan segala hiruk pikuk kemeriahannya tapi sebenarnya tidak ada yang berbeda sama sekali karena sama-sama tentang masalah kesenangan hati bahkan cenderung lebih baik dari segi kepuasan batin atau sekedar kebanggaan diri. Kenapa bisa begitu? karena saya melaluinya dengan tidak sendiri tetapi ditemani oleh teman-teman yang sama, yang satu kesenangan, satu tujuan, satu tekad, satu kekuatan, satu hobi dan satu pemikiran yang unik, yang saya kenal dan yang saya sebenarnya tidak kenal sama sekali yang mendaki bersama dalam satu gunung. Ya saya menghabiskan malam pergantian tahun baru dengan kembali mendaki gunung bersama-sama teman hebat saya, teman yang bisa diharapkan sekali membantu saat kita sedang dalam kesusahan, teman yang mempedulikan kita saat tidak ada orang lain yang bisa memberi perhatian kepada kita, teman yang panik dan tidak akan pernah bisa tenang saat kita sedang dalam kesulitan, teman yang mungkin memang tidak bisa selalu membantu menyelesaikan masalah kita tapi mereka selalu bisa ada disamping kita setiap saat, kapanpun.

Walau mendaki kali ini, di moment yang spesial kali ini tidak bisa target sampai ke puncak tapi kesenangan dan kepuasan saya tidak berkurang kadarnya sedikitpun karena saya bisa tetap menikmati keagungan alam karya Tuhan beserta teman-teman yang peduli dan menyayangi saya dengan sepenuh hati dan sebisa mereka.

Terimakasih Tuhan untuk nikmatnya petualangan saya kali ini, tidak ada yang lebih berkesan lagi saat ini.





























Bertemu dengan 'para sahabat' :





 





Di buang sayang : 





Ciee yang lagi marahan ciee


"Tentang embun pagi yang bersahaja, tentang hati yang bertabur mimpi, tentang angin yang berhembus mesra, tentang perjalanan hati, tentang Lawu." mendengarkan Letto - Sebelum Cahaya.
 

Posted on Wednesday, January 01, 2014 by Unknown

2 comments