'/>

Monday 22 December 2014



Sial ini adalah hari Ibu tak ada yang istimewa sekali dari beliau kecuali jutaan pelajaran hidup yang sangat berharga. Ah kalian pasti akan ikut tak suka pada ibuku jika kalian gagal mencontoh sifat-sifat mulia yang beliau miliki.

Aku pernah membenci ibuku karena dia membiarkanku menunggu lama pada segala sesuatu yang kuminta tapi tak terturuti, tapi aku menjadi bisa belajar mengendalikan diri dan bersabar dari beliau.

Aku pernah membentak, menghajar hati ibuku remuk dengan sikap dan perbuatan-perbuatan nakalku sesekali waktu dan tiap kali itu beliau mengajarkanku kelemahlembutan dalam bersikap dan cara menghargai orang lain.

Aku pun sempat malu memiliki ibu seperti dia karena aku seperti menjadi seorang laki-laki tak berguna dalam hal-hal kecil yang biasanya malas kukerjakan, dan aku semakin malu jika tak bisa menjadi berani, hebat, teguh pendirian, selalu semangat, optimis, dan tak mempedulikan rasa lelah untuk berhasil menggapai sesuatu seperti beliau.

Kalian lihat gambarku yang duduk canggung di samping nisannya? Sial itu bukan nisan ibuku aku sempat salah berkunjung makam karena lupa letak makamnya, dasar aku anak tak begitu berbakti, tapi aku tak pernah lupa rasa pijitan lembut dibahuku kala aku merengek kecapaian, aku tak pernah lupa tak sanggup berhitung pada hitungan banyaknya bintang di langit jika harus menghitung satu-satu pelajaran-pelajaran kehidupan berharga yang memancar terang dari beliau.

Terkadang aku masih sering membenci dan ingin meremukkan kenangan-kenangan indah bersama beliau karena ketika teringat aku seperti remuk redam, benci dan malu pada diriku sendiri dengan sering dibarengi suara sesenggukanku. Ketiadaan beliau sekarang ini menjadikanku ingin dilahirkan menjadi Doraemon kemudian berselancar dengan mesin laci waktunya ke masa lalu menebus segala bentuk kenakalan dan rasa kecewanya beliau kuganti dengan bakti tulus penuh hormat dan handal dalam mebahagiakan hatinya.


                     *******************

Sebuah bentuk cerita pendek diperuntukkan bukan untuk Ibu meski ini hari Ibu, untuk mereka yang kurang berbakti dan jarang mencium tangan dan pipi beliau, ayo lekas peluk dan berlomba berbakti selama setiap hari mumpung masih diberi kesempatan dibukakan telapak surga bagimu yang ada dari beliau.




Posted on Monday, December 22, 2014 by Unknown

1 comment

Tuesday 16 December 2014

Aku memang tak bersamamu, pun menyentuh sepersentuhan bayangan jemarimu aku tak bisa bahkan walau hanya di dalam mimpi-mimpi yang kupaksakan kubuat hampir setiap hari, kenapa ini? Entahlah yang kutahu aku begitu menjunjung tinggi sosokmu.


Kau selalu bisa mengisi rasa kekosonganku, dengan potret-potretmu tentang kau yang sedang coba mengajariku nyanyian ombak, dengan kau yang segenap hati menyemangatiku saat kelelahan mengejar sesuatu di depan, dengan kau yang coba menepuk pundakku dengan kata-kata kerelaan beserta segenap besarnya hati saat aku gagal, kecewa dan menghentikan pengejaranku tentang sesuatu yang di depan itu. Dengan aroma kembang senyummu yang khas kau selalu menyela keluhku,


"Tak apalah, setidaknya kita pernah menunjukkan kepada beberapa orang di belakang kita, kita bisa menyalip, melampui dan pernah lebih baik dari mereka!"


Karena itu aku tak pernah ingin pisah dan pergi begitu saja dari kehidupan bersama ini, jitak saja kepalaku jika aku suatu hari akan mengucapkan selamat tinggal untukmu, bahkan aku berani bertaruh dengan segala ketetapan hati!
Kau tidak akan percaya bahwa yang akan aku ungkapkan ini adalah cerita terbaik yang pernah kau dengar selama hidupmu;


Aku tak hanya mengagumi elok paras rupawanmu, lebih dari itu ungkapannya perasaanku kepadamu itu seperti ketika kau begitu bahagianya melihat pantai, laut, pelangi, mimpi-mimpi, bintang jatuh, rumah kayu yang cantik, dan segala imajinasi indah yang pernah bisa kau bayangkan,


Baiklah aku akan coba akur kepada waktu, kepada kesempatan yang tak berpihak, kepada segala yang membatasi gerak mimpi-mimpi dan sebuah harapan, berpura-pura membuat senang hati dengan seperti ini :


Aku memang tak pernah dilahirkan memiliki takdir beratapkan di satu langit yang sedang berawan sama denganmu dan bermain-main membuat napak jejak di satu tanah yang sama pula, tapi aku merasakan kau begitu dekat bersamaku, candamu, tawamu yang kadang terbahak-bahak itu, semangat mimpi-mimpi dan imajinasimu mewujud, menyampai di sekelilingku dengan menyerupa semilir angin yang sebagian kuhirup menjadi separuh nafasku, dan kadang-kadang kau hadir menjadi mataku, lalu bersama-sama menikmati kebahagiaan memandang langit, bintang, awan-awan, laut. Kau hadir dikebahagiaanku manapun, saat aku merasa nyaman dibeberapa kesempatan hidup, merasa diteduhi sesuatu, merasa hangat, aku yakin di situ jugalah kau sedang ada, menjelma penuh menutupi segala rasa kekurangan hati.


Baiklah kita sepakat ya? Jadi aku tetap akan ada bersamamu, di selalu-nya kau merasa aku selalu ada. Dan jika saat-saat tertentu kau sedang tidak mau bersamaku, maka sementara ombak dan nyanyian ini akan menumpah mengisi kekosonganku mengganti dan menanti kau yang ingin lagi bermain-main bersamaku.


"I wasn't yours and you weren't mine
Though I've wished from time to time
We had found a common ground
Your voice was such a welcome sound
How the emptiness would fill
With the waves and with your song
People find where they belong
Or keep on"
Short stories by Sabi, untuk mengesankan satu hati saja di sana. Tidak untuk yang lain-lain, lain hal, lain apapun.
SketchART by Sabi.
Lyric The Wolves and the Ravens by Rogue Valley.

Posted on Tuesday, December 16, 2014 by Unknown

No comments




Tak ada yang lebih nikmat dalam hal rindu-merindu selain menaruhkannya pada aroma perdu rerumputan bukit tua, pada koyak air embun-embun yang meranggas susut malu-malu saat matahari mulai menggelar sinarnya meraih segala apa yang bisa dikenai suam-suam hangat kilatan benderangnya,
pada akasia-akasia sepelemparan batu dari pinggir garis setapak yang bejajar,
yang tak pernah dipenati rasa enggan untuk terus selalu tegak merindang menunggui manusia-manusia yang tak usah peduli lewat kibas di hadapannya, pada bendi besi lusuh berpewarna delima merah kental yang berkecepatan beberapa lipat saja bila boleh dibanding dengan tenaga kanak-kanak, pada satuan segala hal yang membantu merupa apik dan menjadi utuh disangkarkan dalam potret ini, menjadikannya gampang mengutuhkan ingatan saat diriku ingin bersenang-senang balik berkitar ke ruang kenang seperti saat ini.


"We do not remember days; we remember moments."
~Cesare Pavese, The Burning Brand

Posted on Tuesday, December 16, 2014 by Unknown

No comments

Tuesday 2 December 2014





Di tengah hiruk sibuknya sang dewi petang menjaringkan warna pekatnya memalamkan hari, tampak samar-samar hitam putih suasana kota kecil yang riuhnya temaram saja ini mulai menampakkan suasana-suasana meriah dengan sederhana, tidak begitu bersorak dengan gaduh khas kota-kota besar lainnya, pun tak pula tanggung bersepi menjelma lengang begitu saja, saya rasa hanya sedikit bagian hati saya yang begitu riuhnya menyenyapkan diri, tapi tak lama jua teralun, terseret, ikut mengirama ke suasana yang dijamukan kepada saya ini, menjadikan sedikit terobati tentang kerinduan kepada beberapa handai karib saya di kampung sana. 


Tak butuh lama saya mengirimkan pesan singkat semoga cepat bertemu merencanakan hajatan menyeduh teh hangat dan kopi kental hitam yang manisnya sedikit saja dengan hingar bingar gemerlap sorot lampu dari para pengendara yang melintas di saat kami tepat di sisi bahu jalan paling tepian menjejali diri dengan gorengan, nasi kucing, mungkin juga rokok, dan obrolan-obrolan dari hal tak berkepentingan apapun, di atas gelaran tikar yang melandai lusuh pijak alas kami dalam berbetah diri duduk-duduk di wedangan hik seperti terdahulu sebelum-sebelumnya di lampau lalu. Cepat bertemu, semoga senang.



Donohudan, 02 Bulan 12 'Empatbelas.
Oten.


Posted on Tuesday, December 02, 2014 by Unknown

No comments

Saturday 22 November 2014


Ayolah perdengarkan sebentar-sebentar saja, barang hanya sejenak tentang lesat-lesat semburat jingga di garis ufuk yang bersudut barat yang sedang bercengkerama dengan diriku sekarang ini, mereka ternyata selidik tahu jika aku tidak sedang menikmati mereka, mereka tahu kalau aku tidak sedang bersenang-senang di detik-per detik ujung sayunya menuju ke arah pudar lalu berlanjut menghitam pekat kemudian hilang tanpa ada berbekas, benarlah kau... Aku tidak sedang berbahagia melihat apa yang sebahagian besar para manusia menamainya dengan "sunset yang berparas indah", jika lebih dari ingin sekadar sebentar saja kau mau meluang cermat, cermatilah... Pada arak-arakan awan gumawan yang berbasuh bias warna jingga matang itu seperti sedang berlomba-lomba berberat lambai, seperti tak ingin dia hanya muncul pada saat penghabisan hari saja, yang hanya sebentar sekedar menjadi gincu penghias sendunya matahari ingin bersalam pisah,

"Aih, bukan bermaksud aku ingin berbantah menyela tentang takdir tugas yang diembankan kepadaku, tapi menjadi sesobek sinar penghabisan yang dicipta hanya sekadar redup-redup seperti ini sangatlah mengesalkan barang sekali-kali, kau tahu kenapa hei manusia? Karena aku berberat hati hanya sebentar saja muncul lalu bersudah enyah begitu saja, rampung sudah! Sedangkan kalian akan bersenang-senang memotretiku, berpose dengan segala riuh ceria perasaan kalian, kadang bahkan aku sempat mendapati diriku sedang beriri hati kepada kalian ini, kalian setelah menyelesaian urusan memandangiku di tempat yang bernama senja ini kalian akan berpulang ke rumah masing-masing, banyak kalian tertawa bersama-sama sambil berpaling menapak langkah menjauhiku, yang sebenarnya tak usah kau pergi dahulu aku pasti akan menghilang sendiri, kalian akan gampang hati menamai kesenangan ini sebagai sesuatu yang berakhir dengan indahnya saat bersamaan aku yang sedang dilenyap waktu, ah cepatlah kau sela aku tak akan rampung merajuk-rajuk!" Si semburat sisa letupan sinar panggang nan bengis matahari tadi siang itu mencoba mendesakku tanda pintanya untuk menimbrung berbalik pendapat.

"Oh, tidak kami sebagai pemuji ketiadataraan indahnya dirimu meski hanya segores atau kadang hanya nampak setengah sisa gorespun tidak pernah mendapati kami akan bertindak angkuh seperti itu, kami tentulah tetap cermat merasai apa saja dari sekadar siak wasangkamu kalau kami hanya menjadi penikmat senja belaka, kau lebih dari sekedar pengindah mata, penyejuk jiwa dan peneduh hati, saking sebagian dari kami saja yang tak bisa menggelar cakap atau bisa dengan mudahnya menawarimu untuk mendekat, menyesap secangkir teh bersama-sama kami, tentulah kami sangat sekali ingin lebih berakrab-akrab denganmu daripada sekadar memandangimu saja, ayolah jangan terus-terus bermendung murung, akan tambah digesa gelap saja nanti paras senja yang kami elu-elukan ini..."

Dia, si semburat yang tadi berkilat-kilat menyala kesal tapi tetap terpandang indah pada kami itu tak balik menyahut, malah kini digerus pudar mereka berlaun lambat merayap lenyap, tak berpamit...

"Ah sudahlah, besok akan aku teruskan dengan diperjelas, saat kembali bersua dan bercakap dengan kau ini wahai si selendang senja cantik, bahwa aku tetap salah seorang manusia yang akan tetap mencinta kalian hei si semburat jingga yang berkelebat-kelebat dengan eloknya setiap senja, akan kuberitahu kalian bahwa sebenar-benar jujur, hanya kalianlah sesuatu yang keemas-emasannya jauh maha tinggi dan lebih berharga dari logam mulia yang malah dari sejak awal dinamai emas itu, tunggulah di sini lagi pada esok hari, aku akan membujuk mesra kau untuk memudarkan semua kekesalanmu pada dirimu sendiri, yang kau harus lakukan adalah titi cermat memandang lalu mengenali dirimu sendiri yang simpanan indahnya belum benar-benar kau kenali, ah habis tara untuk menggambarkan gemulai pancaran indahmu dengan sekadar kata-kata."


Selamat menjelang petang wahai semburat berkilat jingga yang memburai indah nan elok melekuk cantik.

“Ô, Sunlight! The most precious gold to be found on Earth.”  Roman Payne

Posted on Saturday, November 22, 2014 by Unknown

No comments

Friday 14 November 2014

"Hei bang, dari sini Merapi itu terlihat kecil ya?"

"Padahal sebenar misal kitalah sesuatu yang mirip segores titik yang kecilnya tak berkesudahan, ya andaikata semesta ini menyerupa berlembar-lembar hikayat yang ceritanya tak habis didongeng beberapa turunan masa kita hanyalah berupa tanda bacanya saja, ada tapi tak dipedulikan hikmah."

" Tapi pekik pikirku menyelasar beda bang, adanya kita menurutku malah membuat lembaran hikayat-hikayat itu jadi lebih indah dibacakan, bukankah hikayat akan diverbalkan mengalur terstruktur? Nah saat kita bertutur butuh jeda, butuh sebentar-sebentar menyeru, memekik lewat tanda pukul, koma dan spasi yang bertaut menyambungkan kata perkata menuju cerita, biar berirama, yang jelas penyingkat cerita untuk segera mudah dipahami dan mudah menemu hikmah di suatu hikayat itu bang, jika tak ada tanda baca akan menjemukan sekali seperti saat kau berbual datar tak berperampungan bang, haha.. "

“Hahaha bisa sajalah kau ini… Ayok cepat turun, matahari mulai bengis saja melarung panasnya naik!”

Aku yang sedari tadi mendengar mereka bercakap, bergelegak tawa, kemudian menyudahi bincang-bincang, lalu melihatnya tatih pelan lanjut menapak turun hanya tetap bisa gagah berdiam tak kenal geming, ah mereka tetap sama saja seperti para manusia-manusia penjejak diriku lainnya, untuk meremukkan bosan karena berat tubuhku yang berbidang maha besar ini tancap akar tegap di tempat tak bisa ke mana-mana, aku akan bersiul, kalau saja mereka tahu angin-angin yang dihembus itulah riuh dendang siulku sedang bermelodi, mereka akan tahu dibalik lain sebenarnya makna tujuku adalah membuat sampah-sampah itu tertiup, membumbung tersapu, meninggi di telan enyah angkasa, aku tak pernah merasa seberkotoran seperti ini meski manusia-manusia ini menginjakiku, tapi aku cemburu pada serak-serak sampah yang tertumpuk menggunung menyaru lekuk bentuk tubuh indahku ini, baiklah usah kupikir aku tak seharusnya berpikir tugasku hanyalah terus menyembul tegap menemani merapi berperangai panas nan eksotis itu kata beberapa para manusia, baiklah aku akan bernyanyi saja,

"Berbalutkan pelita hatimu
di aku di aku dan kamu pasti kan kau melihat aku,
saat ku gapai puncak tertinggi bersama tujuh warna pelangi..."

Epilog

Dan gunung-gunungpun bernyanyi, orkestra alam ditabuh lewat berpoi-poi angin yang menyemilir sejuk dan cecar merdu kicau burung-burung hutan menemani kami menggilas sepanjang sisa urusan menyelesaikan perjalanan kali ini. What a beautiful trip.

Image Stolen from Vinka's Private Archieve
Short Dialogue and Photo Effect by Oten.


Quotes lyric from MALIQ & D'ESSENTIALS 's, Himalaya.

Posted on Friday, November 14, 2014 by Unknown

2 comments

Thursday 13 November 2014

Aku pernah memijak gunung dan mendaki dengan gegapnya ribuan alasan kesenenangan, tapi tak kudapati yang lebih merayu hati dan bisa membuatku tak tanggung membuang cinta di gunung-gunung selain pada perkenalan sesama pejalan yang berakhir karib, kemudian pada aroma rebusan air teh selama bincang-bincang guna penyeduhan rasa akrab yang lebih hangat, dan hal-hal berbasa-basi lainnya.

Hatiku tak benar-benar terantuk jatuh kemudian terserak buang pada pegunungan, tak pernah kudapati sekalipun meski rapatnya belukar semak-semak kusibak berharap menemu makna tentang apa yang sebenarnya kucari di gunung. 

Ya aku menemukan jawabannya, bukan pada karya skulptur Sang Maha Cipta berbentuk bidang bersudut tiga meruncing memuncak ini tapi pada cerita-cerita, pada menyederhanakan kesenangan dalam hal-hal yang menurutku bisa mudah memberi makna seperti di atas tadi.


“All mountain landscapes hold stories: the ones we read, the ones we dream, and the ones we create."
-George Michael Sinclair Kennedy-



Posted on Thursday, November 13, 2014 by Unknown

No comments