Biasanya akan selalu ada cerita lain saat menceritakan cerita, saat menceritakan tentang pendakian Lawu aku tak akan benar-benar bercerita tentang pendakiannya tapi aku akan bercerita tentang wajah-wajah ayu nan kepayahan yang ingin berusaha berjuang menerobos jalanan setapak penuh liku batu, menanjak, curam, berdebu, yang ingin berjuang menerobos batas-batas diri. Wajah-wajah yang terlalu lugu untuk mengenal kata lelah yang terlalu, wajah-wajah yang sebelumnya harus dipaksa untuk mengerti nilai sebuah keprihatinan, wajah-wajah yang sebelumnya sukar untuk diajak mengenal kejadian bersusah-susah diri, wajah-wajah yang sebelumnya tak begitu tahu bagaimana menghargai jerih payah yang amat menyakitkan tatkala tahu langkah kaki yang berjalan itu tak selamanya berjalan di tanah ataupun jalanan yang lurus-lurus saja, jalanan yang datar tak bertantangan, dan yang sebelumnya tak pernah memberi arti bahwa setiap langkahmu ketika bersamaan kau cucurkan keringat di situlah ada sebuah harga perjuangan yang tak mudah di raih tapi sebenarnya terus menempa rasa optimis kita untuk mau berjuang lebih keras lagi meraih sesuatu.
Wajah-wajah cantik yang terlalu sayang jika dibedaki oleh alam dengan serbukan bubuk debu pegunungan yang kadang bisa menyebabkan sesak nafas dan menjadi batuk, tapi sepertinya mereka tak hirau dan beberapa jam kemudian alam malah lebih memoles mereka dengan cantik lagi dengan make up semangat, ketegarangan, rasa harus terus selalu terlihat optimis, dan make up - make up yang menjadikan hati mereka semakin terlihat cantik. Hanya saat di tengah-tengah jalan setapak berdebu menanjak berbatu di tengah-tengah hutan gunung di tengah-tengah rasa lelah kepayahan yang kadang harus membuat beberapa dari kita sesak menahan mata yang berkaca-kaca perih, kita akan melihat seorang wanita memancarkan sisi kecantikan abadi mereka yang entah itu berasal dari hati mereka, semangat mereka, ataupun rasa tegar mereka. Yang pasti kau tetap pasti akan melihatnya.
Saat aku ingin bercerita tentang suatu malam di jalur pendakian Lawu, aku ingin bercerita tentang serangan udara dingin yang membabi buta, tentang untuk yang pertama kalinya aku melihat mereka merengek, pertama kalinya aku melihat wajah kecapaian yang berusaha mengumpat mengutuki penat yang dari peluh-peluh mereka jalanan setapak yang tandus dan berdebu bisa menjadi basah gembur seperti habis disapu gerimis hujan hutan gunung yang datang hanya kala-kala. Saat aku ingin bercerita tentang suatu malam di jalur pendakian Lawu, aku ingin bercerita tentang sendawa dan kentut yang gencar meledak di tengah-tengah dari mereka yang cantik-cantik dan dari kami yang tengah mengelilingi api unggun yang anggun, yang sedang berusaha mengakrabkan diri, kemudian setelahnya karena itu kami terbahak-bahak tanpa beban bersalah dan malah hal itu membuat kami semakin intim mengenal masing-masing sisi dari sifat lain yang sehari-hari sebelumnya disembunyikan rapat. Sepertinya malam itu kami tak mengenal sekat atau batas di mana harusnya kami sudah harus cukup merasa akrab, kemudian yang terjadi yang tak akrab berusaha mengakrab-akrabkan diri, yang sudah akrab ingin lagi berkeras diri untuk lebih mengkrabkan diri, yang sudah sangat akrab ingin lagi berusaha menunjukkan akrabnya adalah yang terbaik di antara yang lain. kemudian akrab menjadi karib, dan malam itu malam di mana kami seperti terlahir tanpa mengenal jarak, jikapun tadinya berjarak, jaraknya melebur, terpanggang menjadi abu, kemudian menguap hilang tak berbekas di dalam gemeratak api unggun yang menyalakan keakraban dan menghangatkan rasa kebersamaan yang indah yang dulu-dulu tidak mungkin terpikirkan akan seakrab ini.
Terima-kasih untuk bincang-bincang akrabnya, terima-kasih untuk secangkir teh atau wedang jahe yang beraroma perkawanan indah yang tiap teguknya menghangatkan urat dan pita tenggorokan lalu menjadikan kita semua bisa berbincang-bincang lebih lama tentang semua hal sepanjang malam saat itu secara lebih akrab. Terima-kasih untuk kesediaan kalian menjajal bersusah-susah diri dan mencoba bersenang-senang dengan keprihatinan.
Beauty is certainly a soft, smooth, slippery thing, and therefore of a nature which easily slips in and permeates our souls. - Plato, Lysis
Wajah-wajah cantik yang terlalu sayang jika dibedaki oleh alam dengan serbukan bubuk debu pegunungan yang kadang bisa menyebabkan sesak nafas dan menjadi batuk, tapi sepertinya mereka tak hirau dan beberapa jam kemudian alam malah lebih memoles mereka dengan cantik lagi dengan make up semangat, ketegarangan, rasa harus terus selalu terlihat optimis, dan make up - make up yang menjadikan hati mereka semakin terlihat cantik. Hanya saat di tengah-tengah jalan setapak berdebu menanjak berbatu di tengah-tengah hutan gunung di tengah-tengah rasa lelah kepayahan yang kadang harus membuat beberapa dari kita sesak menahan mata yang berkaca-kaca perih, kita akan melihat seorang wanita memancarkan sisi kecantikan abadi mereka yang entah itu berasal dari hati mereka, semangat mereka, ataupun rasa tegar mereka. Yang pasti kau tetap pasti akan melihatnya.
Saat aku ingin bercerita tentang suatu malam di jalur pendakian Lawu, aku ingin bercerita tentang serangan udara dingin yang membabi buta, tentang untuk yang pertama kalinya aku melihat mereka merengek, pertama kalinya aku melihat wajah kecapaian yang berusaha mengumpat mengutuki penat yang dari peluh-peluh mereka jalanan setapak yang tandus dan berdebu bisa menjadi basah gembur seperti habis disapu gerimis hujan hutan gunung yang datang hanya kala-kala. Saat aku ingin bercerita tentang suatu malam di jalur pendakian Lawu, aku ingin bercerita tentang sendawa dan kentut yang gencar meledak di tengah-tengah dari mereka yang cantik-cantik dan dari kami yang tengah mengelilingi api unggun yang anggun, yang sedang berusaha mengakrabkan diri, kemudian setelahnya karena itu kami terbahak-bahak tanpa beban bersalah dan malah hal itu membuat kami semakin intim mengenal masing-masing sisi dari sifat lain yang sehari-hari sebelumnya disembunyikan rapat. Sepertinya malam itu kami tak mengenal sekat atau batas di mana harusnya kami sudah harus cukup merasa akrab, kemudian yang terjadi yang tak akrab berusaha mengakrab-akrabkan diri, yang sudah akrab ingin lagi berkeras diri untuk lebih mengkrabkan diri, yang sudah sangat akrab ingin lagi berusaha menunjukkan akrabnya adalah yang terbaik di antara yang lain. kemudian akrab menjadi karib, dan malam itu malam di mana kami seperti terlahir tanpa mengenal jarak, jikapun tadinya berjarak, jaraknya melebur, terpanggang menjadi abu, kemudian menguap hilang tak berbekas di dalam gemeratak api unggun yang menyalakan keakraban dan menghangatkan rasa kebersamaan yang indah yang dulu-dulu tidak mungkin terpikirkan akan seakrab ini.
Terima-kasih untuk bincang-bincang akrabnya, terima-kasih untuk secangkir teh atau wedang jahe yang beraroma perkawanan indah yang tiap teguknya menghangatkan urat dan pita tenggorokan lalu menjadikan kita semua bisa berbincang-bincang lebih lama tentang semua hal sepanjang malam saat itu secara lebih akrab. Terima-kasih untuk kesediaan kalian menjajal bersusah-susah diri dan mencoba bersenang-senang dengan keprihatinan.
Beauty is certainly a soft, smooth, slippery thing, and therefore of a nature which easily slips in and permeates our souls. - Plato, Lysis