'/>

Thursday 13 November 2014

Aku pernah memijak gunung dan mendaki dengan gegapnya ribuan alasan kesenenangan, tapi tak kudapati yang lebih merayu hati dan bisa membuatku tak tanggung membuang cinta di gunung-gunung selain pada perkenalan sesama pejalan yang berakhir karib, kemudian pada aroma rebusan air teh selama bincang-bincang guna penyeduhan rasa akrab yang lebih hangat, dan hal-hal berbasa-basi lainnya.

Hatiku tak benar-benar terantuk jatuh kemudian terserak buang pada pegunungan, tak pernah kudapati sekalipun meski rapatnya belukar semak-semak kusibak berharap menemu makna tentang apa yang sebenarnya kucari di gunung. 

Ya aku menemukan jawabannya, bukan pada karya skulptur Sang Maha Cipta berbentuk bidang bersudut tiga meruncing memuncak ini tapi pada cerita-cerita, pada menyederhanakan kesenangan dalam hal-hal yang menurutku bisa mudah memberi makna seperti di atas tadi.


“All mountain landscapes hold stories: the ones we read, the ones we dream, and the ones we create."
-George Michael Sinclair Kennedy-



Posted on Thursday, November 13, 2014 by Unknown

No comments

Wednesday 12 November 2014

Terlalu banyak nantinya kau dapati cakap cerita dari orang-orang rantau penggadai tenaga dan waktu pada tuan-tuan bandar pengupah, pemilik bidang kerja jikalau pada tempat mereka menimbun keringat sebagai pelumas mata gerigi penggerak usaha untuk berkaya diri majikannya mereka mendapati para tuan-tuan yang berbudi baik, bersahaja, tak beda pandang urusan adil, melayangkan dengan apik tata kebijakan, sampai yang disayang-sayang bak mengelus tangan kanan tuan-tuan itu sendiri.

Kemudian setelah tamat berkisah tentang itu mereka masih akan mengajakmu menuntaskan bagian paling akhir tentang saat-saat mudahnya cara memeras peluh membandingkan kerasnya perasan-perasan milikku dan milikmu,

"Ahoi, beruntungnya mereka-mereka!"

Begitulah jika kita terseret tenggelam alur menikmati kumpulan alkisah mereka, tapi tak kudapati jua barang sepungutpun, meski gusarku cermat menelaah dan menyibak dasar-dasar sisi lain yang kulantun dalam harap harusnya hadir ada dari mereka, ketika kuminta dipaparkan adakah dari mereka yang bisa memetik nikmat, mengukir pahatan kalimat menjadi sebuah definisi apik serupa saat mereka sedang menggaumkan kata-kata pujaan berbau harum pada kala hati mereka terjatuh kepada perawan-perawan ayu penambat pandangan, untuk menjabarkan pekerjaan mereka adalah rumah mereka.

Aku hanya ingin ada yang berkelakar bangga tentang pekerjaan mereka yang bisa seperti rumah bagi mereka, ketika mereka berangkat bekerja berarti pulang ke rumah melabuhkan segenap hati, tempat di mana kau menambatkan hal-hal yang tak kenal bosan dikerjakan setiap hari dengan tulus tanpa berbeban, tempat yang saat ada seseorang bertanya nama tempatmu bekerja kau akan menyahut jawab dengan kata rumah, tempat di mana tidak hanya menemukan sebuntal harapan sekadar menyambung asa untuk mengepul tungku dapur tiap esoknya.
Wishly, the job like my home.

Posted on Wednesday, November 12, 2014 by Unknown

No comments

Tuesday 7 October 2014

Biasanya akan selalu ada cerita lain saat menceritakan cerita, saat menceritakan tentang pendakian Lawu aku tak akan benar-benar bercerita tentang pendakiannya tapi aku akan bercerita tentang wajah-wajah ayu nan kepayahan yang ingin berusaha berjuang menerobos jalanan setapak penuh liku batu, menanjak, curam, berdebu, yang ingin berjuang menerobos batas-batas diri. Wajah-wajah yang terlalu lugu untuk mengenal kata lelah yang terlalu, wajah-wajah yang sebelumnya harus dipaksa untuk mengerti nilai sebuah keprihatinan, wajah-wajah yang sebelumnya sukar untuk diajak mengenal kejadian bersusah-susah diri, wajah-wajah yang sebelumnya tak begitu tahu bagaimana menghargai jerih payah yang amat menyakitkan tatkala tahu langkah kaki yang berjalan itu tak selamanya berjalan di tanah ataupun jalanan yang lurus-lurus saja, jalanan yang datar tak bertantangan, dan yang sebelumnya tak pernah memberi arti bahwa setiap langkahmu ketika bersamaan kau cucurkan keringat di situlah ada sebuah harga perjuangan yang tak mudah di raih tapi sebenarnya terus menempa rasa optimis kita untuk mau berjuang lebih keras lagi meraih sesuatu.




Wajah-wajah cantik yang terlalu sayang jika dibedaki oleh alam dengan serbukan bubuk debu pegunungan yang kadang bisa menyebabkan sesak nafas dan menjadi batuk, tapi sepertinya mereka tak hirau dan beberapa jam kemudian alam malah lebih memoles mereka dengan cantik lagi dengan make up semangat, ketegarangan, rasa harus terus selalu terlihat optimis, dan make up - make up yang menjadikan hati mereka semakin terlihat cantik. Hanya saat di tengah-tengah jalan setapak berdebu menanjak berbatu di tengah-tengah hutan gunung di tengah-tengah rasa lelah kepayahan yang kadang harus membuat beberapa dari kita sesak menahan mata yang berkaca-kaca perih, kita akan melihat seorang wanita memancarkan sisi kecantikan abadi mereka yang entah itu berasal dari hati mereka, semangat mereka, ataupun rasa tegar mereka. Yang pasti kau tetap pasti akan melihatnya.


Saat aku ingin bercerita tentang suatu malam di jalur pendakian Lawu, aku ingin bercerita tentang serangan udara dingin yang membabi buta, tentang untuk yang pertama kalinya aku melihat mereka merengek, pertama kalinya aku melihat wajah kecapaian yang berusaha mengumpat mengutuki penat yang dari peluh-peluh mereka jalanan setapak yang tandus dan berdebu bisa menjadi basah gembur seperti habis disapu gerimis hujan hutan gunung yang datang hanya kala-kala. Saat aku ingin bercerita tentang suatu malam di jalur pendakian Lawu, aku ingin bercerita tentang sendawa dan kentut yang gencar meledak di tengah-tengah dari mereka yang cantik-cantik dan dari kami yang tengah mengelilingi api unggun yang anggun, yang sedang berusaha mengakrabkan diri, kemudian setelahnya karena itu kami terbahak-bahak tanpa beban bersalah dan malah hal itu membuat kami semakin intim mengenal masing-masing sisi dari sifat lain yang sehari-hari sebelumnya disembunyikan rapat. Sepertinya malam itu kami tak mengenal sekat atau batas di mana harusnya kami sudah harus cukup merasa akrab, kemudian yang terjadi yang tak akrab berusaha mengakrab-akrabkan diri, yang sudah akrab ingin lagi berkeras diri untuk lebih mengkrabkan diri, yang sudah sangat akrab ingin lagi berusaha menunjukkan akrabnya adalah yang terbaik di antara yang lain. kemudian akrab menjadi karib, dan malam itu malam di mana kami seperti terlahir tanpa mengenal jarak, jikapun tadinya berjarak, jaraknya melebur, terpanggang menjadi abu, kemudian menguap hilang tak berbekas di dalam gemeratak api unggun yang menyalakan keakraban dan menghangatkan rasa kebersamaan yang indah yang dulu-dulu tidak mungkin terpikirkan akan seakrab ini.

Terima-kasih untuk bincang-bincang akrabnya, terima-kasih untuk secangkir teh atau wedang jahe yang beraroma perkawanan indah yang tiap teguknya menghangatkan urat dan pita tenggorokan lalu menjadikan kita semua bisa berbincang-bincang lebih lama tentang semua hal sepanjang malam saat itu secara lebih akrab. Terima-kasih untuk kesediaan kalian menjajal bersusah-susah diri dan mencoba bersenang-senang dengan keprihatinan.





Beauty is certainly a soft, smooth, slippery thing, and therefore of a nature which easily slips in and permeates our souls. - Plato, Lysis

Posted on Tuesday, October 07, 2014 by Unknown

No comments