Masih pagi, tapi deru lalulalang kendaraan yang membingar dengan hingarnya sudah menelan suara yang dimantapkan langkah kaki saya menghampiri seseorang, mengatur sapa secara halus memakai kalimat tepat di pinggir jalan jam 8 pagi,
“Ayo cepat berangkat, biar tidak terlalu siang! Tak mengapa, kan?”
“Oke, tunggu Pak Wi Dulu” “Baiklah” “Itu dia, ayo persiapan sekali lagi dan berangkat!”

Setelah itu sisa percakapan selanjutnya kami nikmati sambil duduk manis di atas bendi si roda dua menggiringnya mencari jalanan yang menghampar digelarkan ke tujuan piknik kami, Rumah kami di sekitaran daerah Solo tak membuat kami terantuk tahan enggan gapai menuju piknik yang jauh, justru keinginan, rasa penasaran yang selalu berbinar tentang mencari tujuan yang bisa mencampurkan kami dengan alam serta keseluruhan tekad kami jauhnya malah melebihi hitungan kilometer tujuan piknik membuat segala sesuatu tentang perjalanan kali ini sesuatu yang malah menyenangkan terlepas di jalan pasti kepanasan, belum disibukkan mengipas tangkis berbagai macam polusi, serta kondisi tubuh yang berjuang melawan penat dan capai selama perjalanan tersebut.

 Pernah mendengar ungkapan yang ‘dibablas’, kan? Malu bertanya sesat di jalan, banyak bertanya memalukan. Cukuplah tak ambil serius dengan ungkapan yang coba dijenakakan tersebut, tapi ungkapan berbau mbanyol itu setia berteman dan mencandai kami di sepanjang jalan kami menuju ke tempat piknik tersebut, ya menyeruakkan kegelian kami melihat polah diri kita sendiri yang sempat juga dibuat bingung, wira-wiri, muter-muter, mencari jalan menuju tempat piknik tersebut karena jujur saja tak bermaksud bermalu hati menyebutkan jika sebenar-benarnya memang baru kali yang pertama inilah kami menuju curug atau biasa juga disebut air terjun tujuan piknik kami tersebut.

Kami tak sekadar menempuh perjalanan yang lama tapi juga berjibaku dengan segenap likuan, kelokan, turunan dan tanjakan khas geografis semarang yang termasuk wilayah berbaris bukitan. Belum lagi masih harus berputar-putar di beberapa titik pemberhentian yang ada warga sekitar untuk mengulur tanya letak persis arah jalan tuju curug tersebut. 2 Jam kami habiskan berkendara di bendi roda dua ditambah 1 jam berputar-putar, tersesat, salah jalan, kebingungan, kehilangan arah, dan di sinilah sebuah filosofi pelajaran perjalanan kami tempuh, kami lewati, kami dapati, kami belajar.

 Kami jadi tahu jika berjalan menuju perjalanan ke jalan yang arahnya benar perlu suatu proses perjuangan yang tak mudah, suatu pelajaran yang baik dan bijak tentang terus bertahan bersikap baik sangka, pantang menyerah, terus berusaha supaya kelak jika masanya menemukan kita akan menemukan akhir yang indah, ujung perjalanan yang benar, dan tutup cerita dengan segala pengalaman buruk baik yang berharga. Kenapa kami bisa menemukan tujuan kami akhirnya? Karena kami percaya saat-saat kami hampir putus asa dan kehilangan harapan biasanya di situlah kami sudah sangat dekat dengan tujuan kami tersebut, maka kami tak berhenti dan menemukannya. Pelajaran kecil yang berharga besar bagi kami kali ini.

 Tak lebih dari tiga jam akhirnya sampailah bagi kami untuk menumpahkan luap-luap hati yang riang gembira, saatnya perjalanan yang sebenarnya kami mulai.

Yang dinanti-nanti tiba, yang dipendam dalam bersitan-bersitan benak yang tak berkesudahan itu sekarang sudah bisa dipandang, dipijak, dinikmati senyata-nyata jadi. Kami tiba akhirnya di Desa Kalisidi, Gunung Pati, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, Propinsi Jawa Tengah. Tempat tepatnya keberadaan Curug Benowo dan Curug Lawe yang hanya terpisah menyabang beberapa ratus meter saja masing-masing.

Kami dipersilahkan, disambut, didekap secara baik sekali oleh alam sekitar yang menghamparkan barisan bukit, pohon-pohon yang rindang menjulang gagah, keramahan wajah-wajah pribumi sekitar dari yang berprofesi sebagai para mas-mas ahli parkir, akang-akang yang jualan siomay berderet di pinggir jalan masuk menuju curug, para pedagang minuman dan makanan kecil, sampai pada adek-adek kecil yang berkulit cokelat panggang karena terlalu seringnya berbiasa main bertatap terik sinar matahari, semuanya serba bersahabat sekali.

 Kami segera membaurkan berjalan sebagai pejalan setelah genap semua persiapan dari menaruh motor yang sudah dipastikan terparkir dengan baik sampai menghitung satu dua barang bekal sekedar makanan kecil untuk berjaga-jaga di tengah perjalanan. Tak jauh, tapi dipandang mata pun tak cukup dekat, begitulah trek yang kami gambarkan menuju jalur curug yang menghabiskan ukur meter di angka 1700-an. Di sinilah kami memulai berjalan yang sebenar-benarnya, kami membaurkan diri karena kami tak sedang menikmatinya bertiga saja, banyak para teman-teman lainnya turut merombong ,beriringan, sejalan, menyatu padu setujuan menuju Curug.



Separuh perjalanan sampai hampir penghabisan medan yang berliku menerjal menuju Curug, kami disuguhi dengan sekonyong-konyong jalur yang terasa sekali menguji ketahanan berjalan kami, jalur setapak yang membatu berserak sembarangan, sedikit sedikit menanjak tak keterlaluan, tapi kadang pun turunan malah harus berhati-hati. Tapi kami senang-senang saja, kami tetap menunjukkan diri sebagai pejalan yang menyenangkan, kami tetap sesekali beramah tamah sebentar untuk sekadar saling menyuguhkan senyum pada pejalan lain yang berpapas pandang saat bersimpangan arah.






 Cuit burung-burung memang tak semeriah biasa yang disajikan hutan kebanyakan tapi tak mengurangi indah teduh rimbanya jalur sekitaran yang kami lalui, ya kawasan ini masih lumayan lebat marimba boleh disebut sebagai area hutan wisata karena memang Curug ini berlokasi menjorok di sekitar pedalaman kawasan perbukitan yang masih asri sekali dengan rimbunnya pepohonan-pepohonan alam sekitar, bahkan di tempat ini juga menyediakan area pandang Lutung, karena di tempat ini juga adalah rumah bagi beberapa kelompok hewan yang termasuk dalam jenis mamalia yang hampir punah dan dilindungi ini, tapi kala itu kami tak bisa beruntung dan leluasa mencari-cari keberadaan mereka yang suka bergelantungan sesenangnya di pohon-pohon besar yang kami yakini itu adalah pohon tempat mereka menaungkan diri, beredar asumsi di kepala saya kalau mungkin besar mereka tak menampak adalah hari ini hari berkunjung ke curug yang lumayan gaduh ramai dan hilir mudik orang-orang berlalulalang riuh sekali karena itu mereka enggan berdekat-dekatan di sekitar area jalur treking menuju Curug yang menyatu lebat berimba tersebut, alih-alih kalau bisa menampakkan diri.









Kami terus riang, kami menjaga suasana hati tetap senang, berjalan seberapapun lama tak urus hirau, kami akan selalu bahagia dengan segala penat kaki, cucur peluh, dan kesulitan-kesulitan trek yang turun-temanjak, kami sudah terlanjur terlalu senang sekali. Akhirnya hal-hal itulah yang menggiring kami sampai di depan air terjunnya dengan tak terasa menghabiskan hamburan ribuan jejak tapak kaki kami, peluhpun diseka sekena dan gampangnya saja, kaki yang capai kembali menemukan titik tumpu tegaknya, penat? Tak digubris sama sekali, karena memang tak terasa sekali.




Sebagai pejalan kali ini saya dan teman-teman berhasil sekali menikmati panorama rimba yang cantik, kesejukan permai alamnya, keteduhan barisan ribuan pohon dan flora-flora yang menghijaukan lautan titik pandang, di suasana yang tetap bisa senyap dan tenang meski agak ramai riuh dengan keberadaan pejalan pejalan lain. Gemericik riakan aliran air yang pergi turun menghilir tepat bertempat bersebelahan di sepanjang jalur trekking kami, cuit-cuit burung beberapa kali saja, udara aroma pegunungan yang dihirup selalu segar sekali, teduh sejuk segala flora yang rimbanya melebat tak berkesudahan, dan segala –gala hal lainnya yang tak bisa dikatai apa-apa selain dengan teduh, indah, tenang dan menyenangkan sekali mengucap syukur secara terus menerus di sini setia sekali mendekap kami seluruhnya tak kurang satu apapun sampai perjalanan untuk kembali ingat rumah dan pulang tiba.

 Saya akan segera sampai di rumah, bersamaan itu pula saya akan juga segera merindui pohon sandal yang disusun meranting cabang berdaun sandal-sandal bekas yang dikumpul bentuk menyerupa pohon itu, merindui pula pada seurai tali panjang yang tak seberapa yang disimpul kebentuk pola jaring laba-laba yang masih bertemakan sandal bekas dengan tagline :Jepit-derman-nya, pula pada buih-buih air curug yang diterjun-sungkurkan ke bawah dengan keras lagi deras tak habis-habis hingga membiaskan setampak percikan warna warna merah jingga kuning hijau biru nila ungu-nya, merindui melihat setiap kelipatan radius beberapa ratus meter sekian disediakan di sana kantung-kantung dan jerigen besar tempat buang sampahnya, merindui diri yang tersimpul-simpul geli pada kala membaca sepatok papan bertulis, “Yang membuang sampah pada tempatnya segera bertemu jodoh”.

Benar sekali, alam masih bersahabat baik, baik sekali, kadang malah kita sendiri yang membuat alam tak senang bersahabat dengan kita, dia marah dan kadang menjadikan di beberapa titik alam diubah sebagai bencana, kita tak bisa menjaga alam, kita tak dibisakan menjaga alam, kita yang seharusnya menjaga diri kita untuk tak serakah, tamak, atau memicu alam marah dan tak bersahabat sama sekali, paling tidak kita harus bisa menjaga diri kita untuk tidak berhasrat atau bahkan malah memiliki tabiat membuang sampah sembarangan. Alam akan berterima-kasih sekali memiliki sahabat seperti kita, Mari berpiknik untuk mari terus bersahabat dengan segala kebaikan alam.