'/>

Showing posts with label Adventuring. Show all posts
Showing posts with label Adventuring. Show all posts

Friday 15 May 2015


Masih pagi, tapi deru lalulalang kendaraan yang membingar dengan hingarnya sudah menelan suara yang dimantapkan langkah kaki saya menghampiri seseorang, mengatur sapa secara halus memakai kalimat tepat di pinggir jalan jam 8 pagi,
“Ayo cepat berangkat, biar tidak terlalu siang! Tak mengapa, kan?”
“Oke, tunggu Pak Wi Dulu” “Baiklah” “Itu dia, ayo persiapan sekali lagi dan berangkat!”

Setelah itu sisa percakapan selanjutnya kami nikmati sambil duduk manis di atas bendi si roda dua menggiringnya mencari jalanan yang menghampar digelarkan ke tujuan piknik kami, Rumah kami di sekitaran daerah Solo tak membuat kami terantuk tahan enggan gapai menuju piknik yang jauh, justru keinginan, rasa penasaran yang selalu berbinar tentang mencari tujuan yang bisa mencampurkan kami dengan alam serta keseluruhan tekad kami jauhnya malah melebihi hitungan kilometer tujuan piknik membuat segala sesuatu tentang perjalanan kali ini sesuatu yang malah menyenangkan terlepas di jalan pasti kepanasan, belum disibukkan mengipas tangkis berbagai macam polusi, serta kondisi tubuh yang berjuang melawan penat dan capai selama perjalanan tersebut.

 Pernah mendengar ungkapan yang ‘dibablas’, kan? Malu bertanya sesat di jalan, banyak bertanya memalukan. Cukuplah tak ambil serius dengan ungkapan yang coba dijenakakan tersebut, tapi ungkapan berbau mbanyol itu setia berteman dan mencandai kami di sepanjang jalan kami menuju ke tempat piknik tersebut, ya menyeruakkan kegelian kami melihat polah diri kita sendiri yang sempat juga dibuat bingung, wira-wiri, muter-muter, mencari jalan menuju tempat piknik tersebut karena jujur saja tak bermaksud bermalu hati menyebutkan jika sebenar-benarnya memang baru kali yang pertama inilah kami menuju curug atau biasa juga disebut air terjun tujuan piknik kami tersebut.

Kami tak sekadar menempuh perjalanan yang lama tapi juga berjibaku dengan segenap likuan, kelokan, turunan dan tanjakan khas geografis semarang yang termasuk wilayah berbaris bukitan. Belum lagi masih harus berputar-putar di beberapa titik pemberhentian yang ada warga sekitar untuk mengulur tanya letak persis arah jalan tuju curug tersebut. 2 Jam kami habiskan berkendara di bendi roda dua ditambah 1 jam berputar-putar, tersesat, salah jalan, kebingungan, kehilangan arah, dan di sinilah sebuah filosofi pelajaran perjalanan kami tempuh, kami lewati, kami dapati, kami belajar.

 Kami jadi tahu jika berjalan menuju perjalanan ke jalan yang arahnya benar perlu suatu proses perjuangan yang tak mudah, suatu pelajaran yang baik dan bijak tentang terus bertahan bersikap baik sangka, pantang menyerah, terus berusaha supaya kelak jika masanya menemukan kita akan menemukan akhir yang indah, ujung perjalanan yang benar, dan tutup cerita dengan segala pengalaman buruk baik yang berharga. Kenapa kami bisa menemukan tujuan kami akhirnya? Karena kami percaya saat-saat kami hampir putus asa dan kehilangan harapan biasanya di situlah kami sudah sangat dekat dengan tujuan kami tersebut, maka kami tak berhenti dan menemukannya. Pelajaran kecil yang berharga besar bagi kami kali ini.

 Tak lebih dari tiga jam akhirnya sampailah bagi kami untuk menumpahkan luap-luap hati yang riang gembira, saatnya perjalanan yang sebenarnya kami mulai.

Yang dinanti-nanti tiba, yang dipendam dalam bersitan-bersitan benak yang tak berkesudahan itu sekarang sudah bisa dipandang, dipijak, dinikmati senyata-nyata jadi. Kami tiba akhirnya di Desa Kalisidi, Gunung Pati, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, Propinsi Jawa Tengah. Tempat tepatnya keberadaan Curug Benowo dan Curug Lawe yang hanya terpisah menyabang beberapa ratus meter saja masing-masing.

Kami dipersilahkan, disambut, didekap secara baik sekali oleh alam sekitar yang menghamparkan barisan bukit, pohon-pohon yang rindang menjulang gagah, keramahan wajah-wajah pribumi sekitar dari yang berprofesi sebagai para mas-mas ahli parkir, akang-akang yang jualan siomay berderet di pinggir jalan masuk menuju curug, para pedagang minuman dan makanan kecil, sampai pada adek-adek kecil yang berkulit cokelat panggang karena terlalu seringnya berbiasa main bertatap terik sinar matahari, semuanya serba bersahabat sekali.

 Kami segera membaurkan berjalan sebagai pejalan setelah genap semua persiapan dari menaruh motor yang sudah dipastikan terparkir dengan baik sampai menghitung satu dua barang bekal sekedar makanan kecil untuk berjaga-jaga di tengah perjalanan. Tak jauh, tapi dipandang mata pun tak cukup dekat, begitulah trek yang kami gambarkan menuju jalur curug yang menghabiskan ukur meter di angka 1700-an. Di sinilah kami memulai berjalan yang sebenar-benarnya, kami membaurkan diri karena kami tak sedang menikmatinya bertiga saja, banyak para teman-teman lainnya turut merombong ,beriringan, sejalan, menyatu padu setujuan menuju Curug.



Separuh perjalanan sampai hampir penghabisan medan yang berliku menerjal menuju Curug, kami disuguhi dengan sekonyong-konyong jalur yang terasa sekali menguji ketahanan berjalan kami, jalur setapak yang membatu berserak sembarangan, sedikit sedikit menanjak tak keterlaluan, tapi kadang pun turunan malah harus berhati-hati. Tapi kami senang-senang saja, kami tetap menunjukkan diri sebagai pejalan yang menyenangkan, kami tetap sesekali beramah tamah sebentar untuk sekadar saling menyuguhkan senyum pada pejalan lain yang berpapas pandang saat bersimpangan arah.






 Cuit burung-burung memang tak semeriah biasa yang disajikan hutan kebanyakan tapi tak mengurangi indah teduh rimbanya jalur sekitaran yang kami lalui, ya kawasan ini masih lumayan lebat marimba boleh disebut sebagai area hutan wisata karena memang Curug ini berlokasi menjorok di sekitar pedalaman kawasan perbukitan yang masih asri sekali dengan rimbunnya pepohonan-pepohonan alam sekitar, bahkan di tempat ini juga menyediakan area pandang Lutung, karena di tempat ini juga adalah rumah bagi beberapa kelompok hewan yang termasuk dalam jenis mamalia yang hampir punah dan dilindungi ini, tapi kala itu kami tak bisa beruntung dan leluasa mencari-cari keberadaan mereka yang suka bergelantungan sesenangnya di pohon-pohon besar yang kami yakini itu adalah pohon tempat mereka menaungkan diri, beredar asumsi di kepala saya kalau mungkin besar mereka tak menampak adalah hari ini hari berkunjung ke curug yang lumayan gaduh ramai dan hilir mudik orang-orang berlalulalang riuh sekali karena itu mereka enggan berdekat-dekatan di sekitar area jalur treking menuju Curug yang menyatu lebat berimba tersebut, alih-alih kalau bisa menampakkan diri.









Kami terus riang, kami menjaga suasana hati tetap senang, berjalan seberapapun lama tak urus hirau, kami akan selalu bahagia dengan segala penat kaki, cucur peluh, dan kesulitan-kesulitan trek yang turun-temanjak, kami sudah terlanjur terlalu senang sekali. Akhirnya hal-hal itulah yang menggiring kami sampai di depan air terjunnya dengan tak terasa menghabiskan hamburan ribuan jejak tapak kaki kami, peluhpun diseka sekena dan gampangnya saja, kaki yang capai kembali menemukan titik tumpu tegaknya, penat? Tak digubris sama sekali, karena memang tak terasa sekali.




Sebagai pejalan kali ini saya dan teman-teman berhasil sekali menikmati panorama rimba yang cantik, kesejukan permai alamnya, keteduhan barisan ribuan pohon dan flora-flora yang menghijaukan lautan titik pandang, di suasana yang tetap bisa senyap dan tenang meski agak ramai riuh dengan keberadaan pejalan pejalan lain. Gemericik riakan aliran air yang pergi turun menghilir tepat bertempat bersebelahan di sepanjang jalur trekking kami, cuit-cuit burung beberapa kali saja, udara aroma pegunungan yang dihirup selalu segar sekali, teduh sejuk segala flora yang rimbanya melebat tak berkesudahan, dan segala –gala hal lainnya yang tak bisa dikatai apa-apa selain dengan teduh, indah, tenang dan menyenangkan sekali mengucap syukur secara terus menerus di sini setia sekali mendekap kami seluruhnya tak kurang satu apapun sampai perjalanan untuk kembali ingat rumah dan pulang tiba.

 Saya akan segera sampai di rumah, bersamaan itu pula saya akan juga segera merindui pohon sandal yang disusun meranting cabang berdaun sandal-sandal bekas yang dikumpul bentuk menyerupa pohon itu, merindui pula pada seurai tali panjang yang tak seberapa yang disimpul kebentuk pola jaring laba-laba yang masih bertemakan sandal bekas dengan tagline :Jepit-derman-nya, pula pada buih-buih air curug yang diterjun-sungkurkan ke bawah dengan keras lagi deras tak habis-habis hingga membiaskan setampak percikan warna warna merah jingga kuning hijau biru nila ungu-nya, merindui melihat setiap kelipatan radius beberapa ratus meter sekian disediakan di sana kantung-kantung dan jerigen besar tempat buang sampahnya, merindui diri yang tersimpul-simpul geli pada kala membaca sepatok papan bertulis, “Yang membuang sampah pada tempatnya segera bertemu jodoh”.

Benar sekali, alam masih bersahabat baik, baik sekali, kadang malah kita sendiri yang membuat alam tak senang bersahabat dengan kita, dia marah dan kadang menjadikan di beberapa titik alam diubah sebagai bencana, kita tak bisa menjaga alam, kita tak dibisakan menjaga alam, kita yang seharusnya menjaga diri kita untuk tak serakah, tamak, atau memicu alam marah dan tak bersahabat sama sekali, paling tidak kita harus bisa menjaga diri kita untuk tidak berhasrat atau bahkan malah memiliki tabiat membuang sampah sembarangan. Alam akan berterima-kasih sekali memiliki sahabat seperti kita, Mari berpiknik untuk mari terus bersahabat dengan segala kebaikan alam. 

Posted on Friday, May 15, 2015 by Unknown

1 comment

Tuesday 14 April 2015



Menyenangkan sekali saat tahu kini nama untuk sebutan dari aku dan aku-aku lainnya ini sebar beritanya menganak pinak dari sana sampai kemari, tak ada yang lebih bahagia rasanya saat banyak para manusia yang memusuhiku dengan idealisme, dalam kebal rapat egoisnya, dan pada mereka-mereka yang merasa memiliki benak bijak saat sedang menggunjing keberadaan aku dan aku-aku lainnya, bersamaan dengan itu pula aku dan aku-aku lainnya yang membanyak sebar rentak luruh kemana-mana. Ini suatu ajang kemenangan yang patut 'dihari-rayakan' di tengah riuh pikuk manusia-manusia itu saling melempar acung telunjuk ke sesamanya sendiri untuk menjatuhkan pilih pihak siapa yang paling bertanggungjawab atas lahir dengan haramnya sepungut aku dan aku-aku lainnya yang mereka adakan sendiri dan jijik-jijikkan sendiri ini.

Tapi syukurlah aku dan aku-aku lainnya tak beri hirau lebih pada urusan makhluk-makhluk yang katanya berspesimen bagus bentuk dan pintar bijak dengan rupa nalar yang katanya begitu baik dalam menyakral hal-hal bersih ini, karena terlalu sibuknya sekarang aku dan aku-aku lainnya harus mengulur sambut pada handai karib lain yang merombong datang menambah tumpuk di sini, aku dan aku-aku lainnya tak jadi sesedingin beberapa hari-hari lalu saat belum membukit tumpuk lebih tinggi seperti sekarang ini, tunggulah saat aku dan aku-aku lainnya terlihat lebih gagah saat beradu tinggi dengan angka titik pucuk gunung itu sendiri.

Kami merasa bertambah lebih baik, kami merasa bertambah menyatu padat dan kuat untuk lebih gencar memporak-porandakan berbagai penjuru kawasan elok pandang menjadi titik-titik yang memuakkan.

Manusia-manusia itu akan benar-benar merasakan rasanya berbagai campuran rasa yang lebih kesal, lebih memuncakkan emosi, lebih menjulangkan berbagai sumpah serapah bebal mereka. Mereka harus bisa merasakan kesemua rasa-rasa itu lebih dari sakitnya kami dikata-katai menjijikkan dan tak sedap pandang sebagai sampah, karena tak ada yang lebih jenaka dan bingungnya mengenyangkan selain hal yang mereka buat dan ada-adakan dan kemudian dimusuh-musuhkan oleh diri mereka sendiri.

Bersorak dengan sedang senangnya,
Aku; sampah, dan Aku-aku Lainnya.

Posted on Tuesday, April 14, 2015 by Unknown

1 comment

Friday 14 November 2014

"Hei bang, dari sini Merapi itu terlihat kecil ya?"

"Padahal sebenar misal kitalah sesuatu yang mirip segores titik yang kecilnya tak berkesudahan, ya andaikata semesta ini menyerupa berlembar-lembar hikayat yang ceritanya tak habis didongeng beberapa turunan masa kita hanyalah berupa tanda bacanya saja, ada tapi tak dipedulikan hikmah."

" Tapi pekik pikirku menyelasar beda bang, adanya kita menurutku malah membuat lembaran hikayat-hikayat itu jadi lebih indah dibacakan, bukankah hikayat akan diverbalkan mengalur terstruktur? Nah saat kita bertutur butuh jeda, butuh sebentar-sebentar menyeru, memekik lewat tanda pukul, koma dan spasi yang bertaut menyambungkan kata perkata menuju cerita, biar berirama, yang jelas penyingkat cerita untuk segera mudah dipahami dan mudah menemu hikmah di suatu hikayat itu bang, jika tak ada tanda baca akan menjemukan sekali seperti saat kau berbual datar tak berperampungan bang, haha.. "

“Hahaha bisa sajalah kau ini… Ayok cepat turun, matahari mulai bengis saja melarung panasnya naik!”

Aku yang sedari tadi mendengar mereka bercakap, bergelegak tawa, kemudian menyudahi bincang-bincang, lalu melihatnya tatih pelan lanjut menapak turun hanya tetap bisa gagah berdiam tak kenal geming, ah mereka tetap sama saja seperti para manusia-manusia penjejak diriku lainnya, untuk meremukkan bosan karena berat tubuhku yang berbidang maha besar ini tancap akar tegap di tempat tak bisa ke mana-mana, aku akan bersiul, kalau saja mereka tahu angin-angin yang dihembus itulah riuh dendang siulku sedang bermelodi, mereka akan tahu dibalik lain sebenarnya makna tujuku adalah membuat sampah-sampah itu tertiup, membumbung tersapu, meninggi di telan enyah angkasa, aku tak pernah merasa seberkotoran seperti ini meski manusia-manusia ini menginjakiku, tapi aku cemburu pada serak-serak sampah yang tertumpuk menggunung menyaru lekuk bentuk tubuh indahku ini, baiklah usah kupikir aku tak seharusnya berpikir tugasku hanyalah terus menyembul tegap menemani merapi berperangai panas nan eksotis itu kata beberapa para manusia, baiklah aku akan bernyanyi saja,

"Berbalutkan pelita hatimu
di aku di aku dan kamu pasti kan kau melihat aku,
saat ku gapai puncak tertinggi bersama tujuh warna pelangi..."

Epilog

Dan gunung-gunungpun bernyanyi, orkestra alam ditabuh lewat berpoi-poi angin yang menyemilir sejuk dan cecar merdu kicau burung-burung hutan menemani kami menggilas sepanjang sisa urusan menyelesaikan perjalanan kali ini. What a beautiful trip.

Image Stolen from Vinka's Private Archieve
Short Dialogue and Photo Effect by Oten.


Quotes lyric from MALIQ & D'ESSENTIALS 's, Himalaya.

Posted on Friday, November 14, 2014 by Unknown

2 comments

Thursday 13 November 2014

Aku pernah memijak gunung dan mendaki dengan gegapnya ribuan alasan kesenenangan, tapi tak kudapati yang lebih merayu hati dan bisa membuatku tak tanggung membuang cinta di gunung-gunung selain pada perkenalan sesama pejalan yang berakhir karib, kemudian pada aroma rebusan air teh selama bincang-bincang guna penyeduhan rasa akrab yang lebih hangat, dan hal-hal berbasa-basi lainnya.

Hatiku tak benar-benar terantuk jatuh kemudian terserak buang pada pegunungan, tak pernah kudapati sekalipun meski rapatnya belukar semak-semak kusibak berharap menemu makna tentang apa yang sebenarnya kucari di gunung. 

Ya aku menemukan jawabannya, bukan pada karya skulptur Sang Maha Cipta berbentuk bidang bersudut tiga meruncing memuncak ini tapi pada cerita-cerita, pada menyederhanakan kesenangan dalam hal-hal yang menurutku bisa mudah memberi makna seperti di atas tadi.


“All mountain landscapes hold stories: the ones we read, the ones we dream, and the ones we create."
-George Michael Sinclair Kennedy-



Posted on Thursday, November 13, 2014 by Unknown

No comments

Wednesday 2 April 2014



Petualangan kembali di mulai,

Lawu lagi lawu lagi, berpetualang lagi berpetualang lagi :D


Aku sendiri bukan seseorang dengan jiwa petualang yang baik, seseorang yang hanya gampang terpengaruh oleh bisikan-bisikan halus dalam bentuk rayuan teman-teman yang tangguh dan hebat, terima kasih untuk teman-temanku yang sudah menjadi sahabat yang baik bagiku :D


Dan sekali lagi curamnya gunung lawu tidak lebih tinggi dari semangat kami untuk menjejakan sejarah kami sebagai salah satu dari sekian pendaki penakluk puncak lawu, untuk beberapa kalinya. hoyak hoyak :D


Jam 4.30 sore aku berangkat naik motor dapet pinjeman dari seorang kakak yang ganteng, baik hati, dan suka makan soto; Dia adalah jeng jeng jeng : Faiz Lare Angon, halo bang Faiz semoga tetap sehat selalu, tetap bisa jadi kakak yang baik hati dengan sering2 mentraktir tahu kupatnya, amien.


Pukul 05.30 sore tepat aku pun sudah tiba di base camp jalur pendakian gunung Lawu, Cemoro Kandang, tidak ada yang berubah sama sekali saat kali terakhir 3 bulan yang lalu aku berkunjung ke gunung Lawu untuk berkamping di pos 2 yang juga berada di jalur pendakian Cemoro Kandang ini. Bisa lebih cepat karena lalu lintas gak begitu padat seperti hatiku yang lagi macet karena overload kebanyakan memikirkan kamu. Ahaha.


Memang benar ternyata kenyataan hidup itu tak seindah, seiya, sekata seperti apa yang kita bayangkan, gak tau itu indah anaknya siapa, kenyataannya dia hidup, hahahapaan sih :D



Setelah semua rombongan berkumpul dan lengkap berjumlah 17 buah anak manusia sesuai dengan daftar antrian sembako yang telah ditulis dan disepakati kita bersiap untuk segera berangkat membawa misi pendakian ke puncak seperti harapan dan cita-cita kami sebelumnya yang sudah jauh jauh kami rencanakan sebelum kami lahir, eh.. :D tapi beberapa puluh detik setelah persiapan akhir tersebut cuaca eskrim maknum infiniti (nyomot istilah dari teman saya) eh ekstrim ding, kembali dengan galaknya ramah menyapa kami, hujan langsung dateng begitu deras sekali seperti satu gayung air yang langsung dicurahkan dengan cepat dan kuatnya menyapu dan menyentor wc saat aku sedang buang air besar, belum lagi badai, guntur, kilat, halilintar yang cetar membahanong.. dan hanya diperlukan waktu sekitar 6 jam kemudian, (iya Cuma 6 jam -_- saja) untuk bisa kembali merangkai harapan dan impian kami tentang indahnya menikmati tanjakan di jalur setapak berbatu yang panjang, terjal, berliku, berbahaya dan hanya mampu dilalui dan dilakukan oleh para pemimpi professional ini. Apalagi bagi sebagian dari kami ini adalah merupakan malam puncak untuk malam pertama kami mendaki, deg-degan, gemetaran, gugup, dan gelisah tapi seneng-seneng gimana gitu haiyah haiyah persis seperti pengantin baru yang lagi baru-barunya pertama masuk kamar pengantin hokya hokya opo kui :D


Detik-detik menjelang proklamasi eh persiapan akhir




So.. bakso so so miso sooooo… kita akhirnya berhasil berangkat setelah menunggu redanya hujan dan cuaca kembali bersahabat (bersahabat? Sok kenal -_- ) tepat saat aku nengok jam tangan temanku yang menunjukkan pukul 02.30 dini hari waktu setempat sodara-sodara.


Sekali lagi kita prepare, cek ulang semua peralatan perang kami untuk bertempur melawan kabut dingin, tanjakan terjal, dan jalur setapak yang penuh kesulitan untuk menguji  tangguhnya stamina fisik dan tekad dari jiwa petualang kami :D


Setelah pengecekan ulang dan melewati tahap seleksi eliminasi dan semua dari kami sudah genap, gak ada yang ilang, sehat, dan masih normal semua, gak ada yang galau tiba-tiba curhat pacarnya ilang diambil orang atau apa banget gitu, kami pun segera mungkin tanpa pake lama-lama setelah mengadakan ritual berdoa bersama langsung mulai menyikat abis salah satu jalur pendakian dari 2 jalur utama yang disajikan oleh gunung Lawu ini. Bismillahirahmanirahim..

Jadi tepat sekitar pukul 03.00 dini hari kami mulai melakukan pendakian. Kali inilah merupakan petualangan mendaki pertamaku yang di mulai sebegitu paginya.
 
Break sejenak ditengah jalur pendakian

Aku yang sudah ketiga kalinya make jalur ini, saat beberapa kesempatan yang lalu juga sedang mencicipi menu petualangan mendaki, sudah tidak asing lagi mengenali jalur tempuh dan beberapa jurus antisipasi kesulitan lainnya yang disajikan dengan apik oleh jalur yang lumayan safety dari segi kecuraman dan keterjalanan jalurnya ini. Jadi tidak memakan banyak waktu untuk menyesuaikan diri menghadapi beberapa kesulitan saat menggunakan jalur ini.


Karena kehalang oleh kondisi cuaca yang eskrim maknum infiniti (istilah temenku), akhirnya misi kali ini di planning ulang dan hasilnya disepakati bahwa target tidak wajib mencapai puncak dan maksimal kita hanya mendaki sampai di pos 3, tapi gimanapun tidak mengurangi serunya aktifitas petualagan kami menjelajahi gunung lawu salah satu maha karya Tuhan yang indah yang menyajikan alam beserta segala macam hal yang menakjubkan bagi jiwa petualang kami ini.


Oiya tipsnya ketika mendaki gunung saat musim penghujan gini mesti lebih berhati-hati karena otomatis medan menjadi becek, gembur, dan rawan longsor, serta peralatan harus lebih komplit dari biasanya tenda jangan sampe lupa banget, jas hujan, obat-obatan yang berkaitan dengan flu khususnya, dan stamina harus disiapin lebih fit dari biasanya, kalau kita lagi dipertengahan jalur mendaki dan keadaan hujan tapi tidak begitu deras lebih baik tetap berjalan atau sekadar menggerakkan badan supaya tidak gampang terserang rasa dingin yang bisa memicu gejala serangan hipotermia atau sebuah kondisi dimana mekanisme tubuh untuk pengaturan kondisi sulit mengatasi tekanan melawan suhu dingin, kecuali menemukan pos atau gubuk untuk berteduh dan memungkinkan kita membuat api unggun, bawa perbekalan makanan yang bisa menunjang stamina kita saat sedang beraktifitas di musim hujan seperti makanan yang mengandung bahan kedelai, susu, dan kacang-kacangan eh kacang betulan lho maksudnya.



Aku malah lebih menghawatirkan beberapa teman kami yang dalam pendakian kali ini adalah venue perdana mereka mencoba berpetualang dengan mendaki ini, khususnya para cewek.


Aku salut kepada mereka, banyak keterbatasan fisik yang seharusnya tidak mengizinkan mereka untuk memaksakan diri melakukan salah satu aktifitas ekstrim ini justru malah yang lebih semangat-semangatnya. Terjatuh, terpelanting, terpeleset, kram, terkilir, hampir sesak nafas, dan lain sebagainya tetap tidak meruntuhkan wajah-wajah ayu mereka untuk tetap mengembangkan senyum dengan anggunnya. Hei para cowok masa kini yang mendambakan cewek solihah dan tahan banting yang cocok buat dijadiin calon ibu untuk anak-anak kalian; merekalah wanita-wanita tepat untuk dijadikan idaman kalian Ciuw ciuw :D



Pernah melihat orang yang menjadikan hujan sebagai payung mereka? Itulah kami, hujan malah bagai seperti menyelimuti tubuh kami, membasuh dan menyamarkan tetesan peluh dan keringat yang menggenang di tengah upaya kami melawan rasa lelah dan penat, seperti hujan ingin melindungi kami dari cibiran rasa kelelahan tersebut.


Dingin sih dingin, capek sih capek, dan gimanapun cuaca dan kondisinya tetep gak bisa bikin kami gentar serta mundur gitu aja untuk berpetualang dan menerima tantangan yang ada. 



Setiap para pendaki mempunyai cerita unik dan lebih keren dibandingkan dengan serunya film 5 cm, Into The Wild, atau film-film petualangan lainnya. Setiap para pendaki mempunyai cerita yang bisa dibagi sebagai oleh-oleh yang gak pernah bisa habis kepada teman-teman dan semua orang. Cerita petualangan yang gak bakal lekang oleh waktu, yang tetap ada lintas zaman dan tidak usang atau kadaluwarsa untuk dikonsumsi kembali oleh anak cucu kita sebagai kisah yang mudah dicerna moral mereka dengan baik yang mempunyai kandungan gizi lezat tentang petualangan, jiwa pemberani, indahnya persahabatan, hati yang penuh cinta : alam, lingkungan, sesama, nikmatnya rasa berbagi, belajar menolong dan mendahulukan kepentingan orang lain disaat kita sendiri sedang sulit sekalipun, dan akan selalu menarik walau kisah ini akan kita di ceritakan ulang, di ceritakan lagi, dan lagi..


Kami adalah mereka yang suka berpesta di tengah sunyi dan tenangnya hutan pegunungan yang jauh dari gemerlap peradaban, kami adalah mereka yang suka berfoya-foya dengan satu cangkir teh hangat dan mie instant rebus hasil memasak dari peralatan sederhana yang menyalakannya memerlukan perjuangan tersendiri, Kami adalah mereka yang suka bermalas-malasan dibawah teduhan gubuk kecil atau tenda kemah yang dikepung oleh dinginnya kabut tebal dan air hujan sekaligus.

Kami adalah mereka yang suka memanjakan diri didekat gemeratak kayu yang di bakar menjadi api unggun untuk sekadar mengusir rasa dingin, penat dan kecapaian yang seru diantara sela-sela tetes-tetes embun dingin pegunungan.


 
Hangat bercengkerama ditengah jeda istirahat pendakian


“A man on foot, on horseback or on a bicycle will see more, feel more, enjoy more in one mile than the motorized tourists can in a hundred miles.” ~ Edward Abbey


“Seseorang yang berpetualang dengan kaki mereka, pada punggung kuda, atau dengan bersepeda bisa memandang lebih banyak, merasakan lebih banyak , dan menikmati perjalanan lebih banyak walau hanya dalam satu mil daripada mereka para pelancong yang mengendarai kendaraan bermotor yang sudah menempuh jarak ratusan mil jauhnya”

~Edward Abbey



Dibuang sayang :





 

Posted on Wednesday, April 02, 2014 by Unknown

No comments

Tuesday 31 December 2013

Perjalanan kali ini sama aku gak direncanain dengan matang atau dengan mempersiapkan segala sesuatunya, karena perjalanan petualangan kecil kali ini diajak oleh teman-teman secara spontanitas aja.

Ketika pertama mereka mengajak dan tahu kalau tujuan perjalanan petualangan kecil kali ini adalah pantai langsung saja aku mengiyakan tanpa pikir lama-lama, kelamaan jadi pikiran malah gak jadi ikut, keburu ditinggal :D

So guys, awal planning kita memang udah rencana buat susur pantai itu istilah kami di sini, kalau lebih umumnya sih biasa dikenal dengan istilah tracking pantai, atau jelajah pantai.

Target yang kami tuju adalah pantai-pantai di daerah selatan tepatnya yang terletak di kabupaten Gunungkidul, Wonosari, Yogyakarta.

Perjalanan dari Solo sekitar hampir memakan waktu kurang lebih 3 jam perjalanan, itu sih kita pake acara berhenti nyari sarapan dan cek kembali perlengkapan bawaan. Kami mengambil jalur alternatif ke Gunungkidul, jalur di mana secara kondisi lalu lintas memang lebih aman karena hanya segelintir motor serta mobil yang berlalu lalang, tapi kekurangannya kebanyakan jalan tidak lebih lebar dari 3 meter hanya muat untuk berpapasan satu motor dan satu mobil serta kondisi lubang di sana sini yang lumayan lebar dan mengganggu. Tapi terlepas dari hal itu aku tetep menikmati banget perjalanan menuju ke daerah Gunungkidul memakai jalur alternatif yang memutar dan berkelok-kelok itu walau kata teman-teman itu merupakan jalur alternatif tercepat yang bisa kita lalui, dan memang hampir 60% lebih dikit sih menurutku kenikmatan petualangan kecil kali ini ya di perjalanan menuju ke pantainya,secara sepanjang perjalanan kita disuguhi pemandangan sawah dengan hamparan ijo-ijonya, pohon-pohon yang sedang rindang berfotosintesis, berjajar-jajar seakan tiada terputus menyemangati perasaan kami dengan udara yang sepoi-sepoi sejuk yang tetap bisa kami hirup dengan baik dibawah kepungan terik matahari yang kian siang kian menyengat tiada lelah, tapi panas terik yang menyengat seperti itu tadi gak begitu menjadi beban malah gak kami hiraukan sama sekali. Belum lagi saat melintasi jalan di sekitar tempat tinggal penduduk sekitar, pasar, dan beberapa tempat dengan suasana yang berbeda dari kampung kami, menjadikan kami seperti sedang melakukan perjalanan ke daerah jauh nan agak terpencil dengan membawa petualangan besar beserta segenap jiwa adventuring yang menggebu-gebu. Tiada yang lebih nikmat lagi saat itu yang sedang aku rasakan.

  Sayang selain kondisi jalan yang berlubang dan sempit yang bisa kita maklumi dan tidak begitu menjadi bahan kerisauan, kami masih harus juga menyingkirkan pemandangan dari papan-papan baliho, spanduk, umbul-umbul, atau poster dari gambar para caleg yang bertarung di pemilu legislatif tanggal 9 April mendatang, sangat tidak elok dan sedap dipandang mata, hanya menambah kesemrawutan dan 'sampah' bagi pemandangan ditengah indahnya hamparan sawah yang ijo dan memanjakan pemandangan kami.
Semoga ke depan pemerintah lebih bijak memberikan peraturan untuk penataan sistem kampanye yang lebih pro go green dan ramah lingkungan, lebih efektif dan membuang 'sampah-sampah' tersebut pada tempatnya.





Hampir berjibaku dengan jalanan yang menanjak dan turunan yang berkelok-kelok lebih dari 2 jam, perjuangan kami akhirnya berakhir dengan selamat di tujuan pertama kami : Pantai Siung.

Kata-kata atau ucapan ketakjuban kami tidak bisa kami terjemahkan dengan baik selain hanya bisa dibuat terdiam dan terpaku memutar mengitari pemandangan disekeliling daerah pantai semampu jangkauan mata kami memandang. Tidak perlu banyak waktu untuk ngangkat jempol buat pemandangan di pantai yang satu ini, dikelilingi oleh barisan bukit-bukit hijau yang rindang, air laut yang menjorok ke dalam melengkung membuat kondisi alam di sekitar pantai begitu nampak eksotis menyuguhkan lanskap yang begitu memanjakan mata. Tidak heran di pantai ini kami menjumpai banyak pengunjung yang mendirikan tenda dan berkamping di sana. Panas terik yang sangat menyengat yang memaksa kami menguras ion, mencucurkan keringat dengan deras dan mengeringkan tenggorokan kami pada sekitar pukul 12.30 WIB siang itu tidak menyurutkan kenikmatan petualangan kecil kami kali ini, kami pun malah sempat menjajal medan tracking yang lumayan menanjak ke salah satu tebing bagian timur di pantai ini untuk merasakan sensasi yang lebih menantang adrenaline kami.








Courtesy sarangpenyamun.files.wordpress.com







 



Setelah dirasa cukup untuk menyantap medan terjal tracking dan kenyang dengan jamuan pemandangan dari atas tebing sisi timur pantai tersebut kami segera mengemasi langkah kami untuk segera mungkin dibawa menuju ke tujuan petualangan kecil kami berikutnya menuju pantai selanjutnya yang tidak lebih dari 6 kilometer jauhnya ke sisi arah sebelah timur dari letak pantai Siung tujuan pertama kami tersebut.

Mengingat siang itu memang teriknya panas sinar matahari kian menjadi-jadi saja dan karena terbatasnya durasi waktu petualangan kecil kami kali ini semakin membuat kami cepat beranjak untuk melanjutkan petualangan dengan tema jelajah pantai ini.

Dan tujuan kami berikutnya sudah pasti pantai yang berjarak tidak jauh dari pantai pertama yang kami singgahi ini, berada di sebelah timur dengan menempuh perjalanan tidak kurang dari 20 menit.

Baru di sinilah kami merasakan sulitnya mengakses fasilitas atau akomodasi dasar bagi kenyamanan setiap turis yang ingin berkunjung dan menikmati resort yang disajikan alam dengan begitu indahnya ini. Sulitnya ketersediaan air, jaringan listrik yang belum menjangkau wilayah ini, serta berbagai keperluan komunikasi lainnya seperti sinyal telpon seluler pun di sini menjadi kebutuhan yang sedikit langka bagi kami.

Tapi berbagai kendala tersebut tidak bisa mengurangi antusiasme kami melanjutkan petualangan kecil jelajah pantai yang sudah kami niati banget sejak awal kami berangkat merencanakan dari rumah kami sebelumnya. Kami pun tetap bisa dengan enjoynya menapaki setiap jengkal bentangan pantai Wediombo dari sisi sudut barat sampai titik sudut sebelah timur pantai tersebut yang kebanyakan di dominasi pula oleh bebatuan padas dan karang halus. Tidak diperlukan waktu lama untuk kami mencari jalur tracking pada pantai tersebut yang menghubungkan ke pantai berikutnya, Pantai Jungwok.










Salah satu dari kami sempat mengabadikan jalur tersebut yang tidak memakan waktu lebih dari 15 menit ini melalui rekaman video dari ponsel, Jalurnya tidak begitu berliku malah menyajikan bukit-bukit dengan alam sawah milik penduduk yang membelahnya. Tidak diperlukan keahlian khusus sebagai seorang pendaki profesional atau tracker handal dengan segala perangkat alat survivalnya, cewek dengan rok lebar dan panjang pun bisa melalui dengan baik medan tracking setapak yang merupakan salah satu jalur alternatif utama penghubung antara pantai Wediombo dan pantai Jungwok ini.
Untuk sedikit lebih detailnya aku comotkan foto yang aku ambil dari yohang.net :

Courtesy of http://i0.wp.com/yohang.net/wp-content/uploads/DSC_7166.jpg


 Dan di pantai Jungwok inilah kami memilihnya sebagai tempat istirahat siang kami, hampir 2 jam lebih kami menghabiskan waktu istirahat di sana, guling-guling di matras, gelindingan, mencari ikan di bibir pantai, dan bermain-main layaknya anak kecil yang kurang bahagia semasa hidup jaman kanak-kanaknya dulu.. ahahaha.

Aku pun sempat menjajal salah satu diantara 2 buah tebing yang berada terpisah dari daratan lepas yang seakan berdiri kokoh tegap tak lekang, tak tergerus ombak dan air lautan itu, yang berada di sisi kanan dan kiri pantai Jungwok. Sayangnya tidak ada teman yang berani ikut atau membawa kamera untuk mengabadikan moment yang mendebarkan karena berkaitan dengan tinggi dan kecuraman ini :D

Setelah dirasa cukup beristirahat dan berleha-leha menikmati keindahan pantai Jungwok dengan segala keeksotisan pemandangannya kami pun segera beranjak meneruskan petualangan kecil kami dengan rencana selanjutnya adalah kembali menuju pantai Wediombo dimana adalah tujuan akhir petualangan kami kali ini dengan menginap ala survivor dengan peralatan camping seadanya (tanpa tenda atau doom).

Dan di sinilah baru kami benar-benar merasakan bagian dari petualangan kecil jelajah pantainya, kami kembali ke pantai Wediombo menggunakan jalur berbeda, jalur tebing tepi pantai yang biasa di lalui para nelayan atau orang-orang yang berasal dari penduduk sekitar yang bermata pencaharian mencari ikan, jalur natural yang terbuat karena adanya aktifitas pasang dan surut air laut yang mungkin bisa saya perkirakan terbentuknya memakan waktu jutaan tahun sebelumnya. Setiap jengkal dari lekukannya benar-benar menggambarkan sebuah pahatan dan ukiran alam yang tidak bisa dibuat dan ditandingi oleh maha karya ciptaan tangan manusia dengan segala puncak keahlian seni tertingginya sekalipun. Really fuckin damn awesome!

Aku yakin jalur tracking yang bisa dianggap ekstrim ini jarang sekali peminat dari kalangan turis yang berani mencobanya karena selain alasan keselamatan juga karena mungkin sebagian besar dari kita belum mengetahuinya. Buat mereka yang gak suka berpetualang dengan membawa keberanian yang nanggung-nanggung atau cuma ala kadarnya diharuskan untuk mencobanya sendiri, gak lengkap rasanya berkunjung ke kedua pantai ini dengan melewatkan bagian petualangan di jalur tracking ekstrim ini. Tapi ingat jalur ini bisa dilalui hanya pada saat air laut sedang surut dan aman dilakukan pada siang hari yaitu antara sekitar pukul 15.00 sampai dengan 18.00 sore.

Selamat bertemu kembali dipetualangan selanjutnya dan selamat menikmati.
Boyolali, 26 Maret 2014
















Posted on Tuesday, December 31, 2013 by Unknown

No comments