'/>

Showing posts with label The Special Moment. Show all posts
Showing posts with label The Special Moment. Show all posts

Monday 21 September 2015

Satu bongkahan awan besar tadi sudah cepat sekali pecah kencang menggumawan ke mana-mana,
langsung saja hal itu membuatku memikirkanmu untuk kemudian mencoba memberanikan diri berandai menanyaimu,

Maukah kau mengizinkanku menjadi awan? biar lebih leluasa memetik warna-warna pelangi nanti, lalu akan kupecahkan diriku tipis-tipis biar lebih mudah aku menjaring deras kicau angin langit yang riuh-riuh sejuk itu,
tenang saja jika kau tak bisa pulang dan belum dapat bertemu denganku semuanya bakal kuwadahkan untuk kusimpan jadi satu, nanti biar aku kirim lewat aku yang merintik tiada,

tapi tak benar-benar tiada, saat menjadi deras pecahan air sebenarnya aku sedang menyemaikan diri, kugenangi telaga itu penuh-penuh, saat kau rindu kau tinggal ke sana, ciduk beberapa tetes saja air di sana, di sanalah akan ada sisa-sisa partikel higroskopis yang berisikan tentang kasih dan macam-macamnya, dengan begitulah caraku membasuh kristal beku bulir-bulir rindumu.
Warna Lake, Dieng Plateu - Central Java.

Posted on Monday, September 21, 2015 by Unknown

4 comments

Tuesday 8 September 2015

“Akhirnya kita bisa menerbangkan diri kita tak hanya menerbangkan layang-layang saja seperti dulu ….”

“Tapi kita tak bisa meremehkan layang-layang, karena layang-layang dan semangat yang tak pernah berhenti untuk merakit layang-layanglah kita bisa belajar bersabar dan tekun merakit impian, cita-cita, dan semua harapan.”

“ Teringat sekali saat di mana masa kecil kita yang ceria menyambut musim bermain layang-layang tiba …”

… saat bersamaan pada waktu itu pula kau selalu bersemangat mengajakku merakit layang-layangmu, untuk kemudian kau pamerkan dengan gagah dan hebatnya kepadaku juga, aku hanya tersenyum dan tertawa saja karena aku pun yang tak kalah lelah membantumu merakit layang-layang itu sampai kita bisa menerbangkannya bersama, tak kukira kala itu kau tak hanya merakit layang-layang tapi juga memulai merakit mimpimu untuk tak hanya menerbangkan layang-layang tapi juga merakit mimpi, merakit pesawat sederhana ini untuk menerbangkan kita bersama melambung tinggi sejauh ini, bahagianya lagi kau terbang mengajakku secara sederhana dengan hal-hal sederhana, penuh kesederhanaan, sehingga kelak saat seperti sekarang ini tiba meski kita jauh membumbung menapak langit setinggi ini kita tetap selalu sederhana, aku tak merasa tinggi kau tak merasa tinggi hati kita terus menali tambat di bawah sana, bersama mereka orang-orang yang kita sayangi yang mendorong kita sampai setinggi ini sampai bisa berada di sini.

“Hei, sudahlah berhenti dahulu mengingat yang lalu-lalu, karena harusnya kita sedang sibuk menikmati layang-layang kita sekarang yang kurakit sudah sejak dulu menggunakan impian, cita-cita dan harapan ini.”

“Ah, aku tak mau menyebutnya layang-layang, meski sederhana sekali tetap saja aku lebih suka menyebutnya pesawat sederhana kita, bagaimana Kapten?”

“Baiklah, terserah kau saja yang penting jangan lupa selalu bahagia bersamaku ya, itu perintah!”

“Siap Kapten!”

"The sky is full of dreams, but you don't know how to fly." -Unknown-

Sedikit cerita sederhana dan sektchART sederhana saja ini dari saya, sabi.

Posted on Tuesday, September 08, 2015 by Unknown

1 comment

What if home is not a place?
What if home is not there to be found?
-Dotan-

Jika bagi mereka rumah masih dibataskan pada persepsi kita tentang sebuah bentuk bangunan, rumah bagi saya mewujud kokoh dalam bentuk kemantapan hati tentang memaknai perjalanan adalah rumah itu sendiri.
Rumah di mana atapnya membentang luas tak pangkal ujung, di mana puncak-puncak 'tiang' ditancap kokoh dengan indahnya,
di mana kau bebas berlarian menginjak 'lantai' tanpa urus debu atau kotor, di mana dindingnya yang tak terlihat yang kadang panas, sesekali sejuk, atau bahkan dingin dengan segala pancarobanya tak pernah menghalangimu, tak pernah membuat batasan sekat untuk memisahkan dan membuat jarak langkah menjadi tersendat,

hanya di rumah yang satu ini dindingnya tak pernah menghentikan dan menghalangi tekad kita memaknai luasnya rumah, rumah di mana kau bisa melihat setiap bagian ruangnya adalah sesuatu yang selalu baru dan selalu membuatmu kagum.

Teruslah memaknainya sebagai rumah, selalu ya, karena hanya dengan terus berjalan masuk menuju rumah yang satu ini dan mengelilingi hamparan ruang-ruang di dalamnya kau akan dijamu-sajikan kisah-kisah petualangan yang susah senang, jenaka bijak lengkap sudah ada di sana, pun di sanalah sekaligus kau bisa mulai jalin mengenal, pula menengok handai kerabatmu yang lain yang masih terikat satu tumpah darah dengan berbineka ragam suku buyut turunannya, rumah yang di sanalah kau bisa belajar banyak tentang arti rumah yang masih harus banyak dijabarkan dan dimaknai seluas mungkin. Welcome home.

SketchART oleh sabi.
Sekelumit saja bait kata-kata juga oleh sabi.
Ditemani sebentar dengar, dengan lagunya Dotan - Home II.


Posted on Tuesday, September 08, 2015 by Unknown

1 comment

Wednesday 15 July 2015


Kau tidak perlu menjadi beruntung untuk bisa menari dalam hidupmu karena di manapun kau berada selama kau terus ceria disitulah panggungmu,

kau tak perlu memikirkan uang untuk membeli warna-warna indah dalam hidupmu karena selama kau terus optimis kau bisa melukis banyak warna hidupmu terus dan terus setiap hari,

 Kau tidak perlu dikenal dunia agar ada yang mendengarkan kau bernyanyi, selama kau masih menyaringkan suara harapan dan mimpimu dunia akan bersiul dan mengiringi kau menyanyikan berbagai judul lagu kehidupan,

Kau tak akan perlu menantikan keajaiban, selama kau lantang, acuh lelah, pantang putus mendeklamasikan semua yang di atas tadi (mimpi, harapan, semangat, keceriaan, doa, usaha) bersama orang-orang yang kau sayangi kau akan selalu menjadi dirimu yang terbaik dan semuanya akan selalu baik-baik saja. Percayalah.


SketchART by sabi
Inspiration thoroughly from Coldplay's song : Miracle.




Posted on Wednesday, July 15, 2015 by Unknown

No comments

Friday 15 May 2015


Masih pagi, tapi deru lalulalang kendaraan yang membingar dengan hingarnya sudah menelan suara yang dimantapkan langkah kaki saya menghampiri seseorang, mengatur sapa secara halus memakai kalimat tepat di pinggir jalan jam 8 pagi,
“Ayo cepat berangkat, biar tidak terlalu siang! Tak mengapa, kan?”
“Oke, tunggu Pak Wi Dulu” “Baiklah” “Itu dia, ayo persiapan sekali lagi dan berangkat!”

Setelah itu sisa percakapan selanjutnya kami nikmati sambil duduk manis di atas bendi si roda dua menggiringnya mencari jalanan yang menghampar digelarkan ke tujuan piknik kami, Rumah kami di sekitaran daerah Solo tak membuat kami terantuk tahan enggan gapai menuju piknik yang jauh, justru keinginan, rasa penasaran yang selalu berbinar tentang mencari tujuan yang bisa mencampurkan kami dengan alam serta keseluruhan tekad kami jauhnya malah melebihi hitungan kilometer tujuan piknik membuat segala sesuatu tentang perjalanan kali ini sesuatu yang malah menyenangkan terlepas di jalan pasti kepanasan, belum disibukkan mengipas tangkis berbagai macam polusi, serta kondisi tubuh yang berjuang melawan penat dan capai selama perjalanan tersebut.

 Pernah mendengar ungkapan yang ‘dibablas’, kan? Malu bertanya sesat di jalan, banyak bertanya memalukan. Cukuplah tak ambil serius dengan ungkapan yang coba dijenakakan tersebut, tapi ungkapan berbau mbanyol itu setia berteman dan mencandai kami di sepanjang jalan kami menuju ke tempat piknik tersebut, ya menyeruakkan kegelian kami melihat polah diri kita sendiri yang sempat juga dibuat bingung, wira-wiri, muter-muter, mencari jalan menuju tempat piknik tersebut karena jujur saja tak bermaksud bermalu hati menyebutkan jika sebenar-benarnya memang baru kali yang pertama inilah kami menuju curug atau biasa juga disebut air terjun tujuan piknik kami tersebut.

Kami tak sekadar menempuh perjalanan yang lama tapi juga berjibaku dengan segenap likuan, kelokan, turunan dan tanjakan khas geografis semarang yang termasuk wilayah berbaris bukitan. Belum lagi masih harus berputar-putar di beberapa titik pemberhentian yang ada warga sekitar untuk mengulur tanya letak persis arah jalan tuju curug tersebut. 2 Jam kami habiskan berkendara di bendi roda dua ditambah 1 jam berputar-putar, tersesat, salah jalan, kebingungan, kehilangan arah, dan di sinilah sebuah filosofi pelajaran perjalanan kami tempuh, kami lewati, kami dapati, kami belajar.

 Kami jadi tahu jika berjalan menuju perjalanan ke jalan yang arahnya benar perlu suatu proses perjuangan yang tak mudah, suatu pelajaran yang baik dan bijak tentang terus bertahan bersikap baik sangka, pantang menyerah, terus berusaha supaya kelak jika masanya menemukan kita akan menemukan akhir yang indah, ujung perjalanan yang benar, dan tutup cerita dengan segala pengalaman buruk baik yang berharga. Kenapa kami bisa menemukan tujuan kami akhirnya? Karena kami percaya saat-saat kami hampir putus asa dan kehilangan harapan biasanya di situlah kami sudah sangat dekat dengan tujuan kami tersebut, maka kami tak berhenti dan menemukannya. Pelajaran kecil yang berharga besar bagi kami kali ini.

 Tak lebih dari tiga jam akhirnya sampailah bagi kami untuk menumpahkan luap-luap hati yang riang gembira, saatnya perjalanan yang sebenarnya kami mulai.

Yang dinanti-nanti tiba, yang dipendam dalam bersitan-bersitan benak yang tak berkesudahan itu sekarang sudah bisa dipandang, dipijak, dinikmati senyata-nyata jadi. Kami tiba akhirnya di Desa Kalisidi, Gunung Pati, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, Propinsi Jawa Tengah. Tempat tepatnya keberadaan Curug Benowo dan Curug Lawe yang hanya terpisah menyabang beberapa ratus meter saja masing-masing.

Kami dipersilahkan, disambut, didekap secara baik sekali oleh alam sekitar yang menghamparkan barisan bukit, pohon-pohon yang rindang menjulang gagah, keramahan wajah-wajah pribumi sekitar dari yang berprofesi sebagai para mas-mas ahli parkir, akang-akang yang jualan siomay berderet di pinggir jalan masuk menuju curug, para pedagang minuman dan makanan kecil, sampai pada adek-adek kecil yang berkulit cokelat panggang karena terlalu seringnya berbiasa main bertatap terik sinar matahari, semuanya serba bersahabat sekali.

 Kami segera membaurkan berjalan sebagai pejalan setelah genap semua persiapan dari menaruh motor yang sudah dipastikan terparkir dengan baik sampai menghitung satu dua barang bekal sekedar makanan kecil untuk berjaga-jaga di tengah perjalanan. Tak jauh, tapi dipandang mata pun tak cukup dekat, begitulah trek yang kami gambarkan menuju jalur curug yang menghabiskan ukur meter di angka 1700-an. Di sinilah kami memulai berjalan yang sebenar-benarnya, kami membaurkan diri karena kami tak sedang menikmatinya bertiga saja, banyak para teman-teman lainnya turut merombong ,beriringan, sejalan, menyatu padu setujuan menuju Curug.



Separuh perjalanan sampai hampir penghabisan medan yang berliku menerjal menuju Curug, kami disuguhi dengan sekonyong-konyong jalur yang terasa sekali menguji ketahanan berjalan kami, jalur setapak yang membatu berserak sembarangan, sedikit sedikit menanjak tak keterlaluan, tapi kadang pun turunan malah harus berhati-hati. Tapi kami senang-senang saja, kami tetap menunjukkan diri sebagai pejalan yang menyenangkan, kami tetap sesekali beramah tamah sebentar untuk sekadar saling menyuguhkan senyum pada pejalan lain yang berpapas pandang saat bersimpangan arah.






 Cuit burung-burung memang tak semeriah biasa yang disajikan hutan kebanyakan tapi tak mengurangi indah teduh rimbanya jalur sekitaran yang kami lalui, ya kawasan ini masih lumayan lebat marimba boleh disebut sebagai area hutan wisata karena memang Curug ini berlokasi menjorok di sekitar pedalaman kawasan perbukitan yang masih asri sekali dengan rimbunnya pepohonan-pepohonan alam sekitar, bahkan di tempat ini juga menyediakan area pandang Lutung, karena di tempat ini juga adalah rumah bagi beberapa kelompok hewan yang termasuk dalam jenis mamalia yang hampir punah dan dilindungi ini, tapi kala itu kami tak bisa beruntung dan leluasa mencari-cari keberadaan mereka yang suka bergelantungan sesenangnya di pohon-pohon besar yang kami yakini itu adalah pohon tempat mereka menaungkan diri, beredar asumsi di kepala saya kalau mungkin besar mereka tak menampak adalah hari ini hari berkunjung ke curug yang lumayan gaduh ramai dan hilir mudik orang-orang berlalulalang riuh sekali karena itu mereka enggan berdekat-dekatan di sekitar area jalur treking menuju Curug yang menyatu lebat berimba tersebut, alih-alih kalau bisa menampakkan diri.









Kami terus riang, kami menjaga suasana hati tetap senang, berjalan seberapapun lama tak urus hirau, kami akan selalu bahagia dengan segala penat kaki, cucur peluh, dan kesulitan-kesulitan trek yang turun-temanjak, kami sudah terlanjur terlalu senang sekali. Akhirnya hal-hal itulah yang menggiring kami sampai di depan air terjunnya dengan tak terasa menghabiskan hamburan ribuan jejak tapak kaki kami, peluhpun diseka sekena dan gampangnya saja, kaki yang capai kembali menemukan titik tumpu tegaknya, penat? Tak digubris sama sekali, karena memang tak terasa sekali.




Sebagai pejalan kali ini saya dan teman-teman berhasil sekali menikmati panorama rimba yang cantik, kesejukan permai alamnya, keteduhan barisan ribuan pohon dan flora-flora yang menghijaukan lautan titik pandang, di suasana yang tetap bisa senyap dan tenang meski agak ramai riuh dengan keberadaan pejalan pejalan lain. Gemericik riakan aliran air yang pergi turun menghilir tepat bertempat bersebelahan di sepanjang jalur trekking kami, cuit-cuit burung beberapa kali saja, udara aroma pegunungan yang dihirup selalu segar sekali, teduh sejuk segala flora yang rimbanya melebat tak berkesudahan, dan segala –gala hal lainnya yang tak bisa dikatai apa-apa selain dengan teduh, indah, tenang dan menyenangkan sekali mengucap syukur secara terus menerus di sini setia sekali mendekap kami seluruhnya tak kurang satu apapun sampai perjalanan untuk kembali ingat rumah dan pulang tiba.

 Saya akan segera sampai di rumah, bersamaan itu pula saya akan juga segera merindui pohon sandal yang disusun meranting cabang berdaun sandal-sandal bekas yang dikumpul bentuk menyerupa pohon itu, merindui pula pada seurai tali panjang yang tak seberapa yang disimpul kebentuk pola jaring laba-laba yang masih bertemakan sandal bekas dengan tagline :Jepit-derman-nya, pula pada buih-buih air curug yang diterjun-sungkurkan ke bawah dengan keras lagi deras tak habis-habis hingga membiaskan setampak percikan warna warna merah jingga kuning hijau biru nila ungu-nya, merindui melihat setiap kelipatan radius beberapa ratus meter sekian disediakan di sana kantung-kantung dan jerigen besar tempat buang sampahnya, merindui diri yang tersimpul-simpul geli pada kala membaca sepatok papan bertulis, “Yang membuang sampah pada tempatnya segera bertemu jodoh”.

Benar sekali, alam masih bersahabat baik, baik sekali, kadang malah kita sendiri yang membuat alam tak senang bersahabat dengan kita, dia marah dan kadang menjadikan di beberapa titik alam diubah sebagai bencana, kita tak bisa menjaga alam, kita tak dibisakan menjaga alam, kita yang seharusnya menjaga diri kita untuk tak serakah, tamak, atau memicu alam marah dan tak bersahabat sama sekali, paling tidak kita harus bisa menjaga diri kita untuk tidak berhasrat atau bahkan malah memiliki tabiat membuang sampah sembarangan. Alam akan berterima-kasih sekali memiliki sahabat seperti kita, Mari berpiknik untuk mari terus bersahabat dengan segala kebaikan alam. 

Posted on Friday, May 15, 2015 by Unknown

1 comment

Sunday 18 January 2015



Gunung Andong, Dia tidak menyembunyikan ketinggian seperti kebanyakan pegunungan lain, dia bersahaja, dia merendah, tak lebih dari 1.463 mdpl, tapi cukup harus bertenaga menempuh selama dua jam untuk bisa menancap pijak kokoh kaki di belukar semak puncak, Bukan pada setapak trek yang mengular meliuk naik, atau kesulitan menyeimbangkan tegap badan dibuat untuk melangkahi berjengkal demi jengkal trek yang semakin menghulu, atau dasar watak keluh yang ada pada saya ketika dihadapkan pada hal yang menyulit yang membuahkan beban tersendiri dalam perjalanan..


 Tapi karena pada saat itu saya dipaksakan keadaan untuk merasai badai yang sedang bergemuruh camuk tiada habisnya, pula pada remah air air langit yang turun menggerimis tak rampung-rampung, kabut yang meluas ledak menebar batasan jarak pada segala penjuru titik pandang..


 Kala itu kabut semakin membekukan suasana, Kala itu kabut seperti menari mengirama iring pada cuaca yang sedang menyendu kelam, kabut itu juga sekaligus menabuh bunyi-bunyian deru gemeringsing mirip nyanyian ombak menyinambung tiada habis yang pecah digubah laut pasang.


Pada potret yang berhasil ditangkap mata lensa buram berkemampuan ala kadarnya ini menghasilkan lihat kabut itu sedang berkuasa merubah sudut pandang, meniadakan beberapa titik jangkau pandang, dan memburamkan sekitaran area nikmat pandang yang harusnya dari situ saya bisa melihat alam hijau yang bersolek cantik yang menghampar pamer geografis wilayah Salatiga, Semarang, dan Magelang ini.


Tapi saya tetap menikmati, setidaknya saya memperoleh kenikmatan dari perjuangan yang lumayan menguras moril dan tenaga tapi terbayar lunas dengan genapnya beberapa pengalaman sekaligus sebagai pejalan kali ini.


Posted on Sunday, January 18, 2015 by Unknown

2 comments

Wednesday 14 January 2015

























Aku sering berpikir selama dalam perjalanan kali ini, bagaimana jika baiknya aku tak harus tahu kapan aku tiba ditujuanku, bagaimana kalau aku tidak usah dipertemukan dulu dengan tujuanku? aku terlalu menikmati perjalanan ini, menikmati kopi dipagi penghujung perjalananku, aku terlalu menikmati pikiranku yang mengandai-andai jika perjalanan ini harusnya tak usah berujung, tapi kerjapan kilau matahari mulai mencecar sinarnya ke segala penjuru beberapa kilatan hangatnya berebut menyengat setiap bagian poriku, kemudian menggapaiku, berniat meremukkan andaianku dan berusaha membuka paksa hari yang baru, hari yang akan digantung terik terang nan panas dipertengahan dzuhur nanti, hei mentari kau akan menang nanti dan baiklah aku menyerah sebenarnya bukannya aku tak mau menyambutmu dengan meriahnya aubade serba ceria kali ini, tapi betapa sempurna suasana kali ini jika aku bisa menyeduh kopi dan menikmati geliat elok sinar-sinarmu meninggi dan menerang pelan-pelan bersama seorang terkasihku pagi ini, Apa? Kau tetap memintaku bersiul, bernyanyi, bersenang-senang pagi ini? Baiklah ayo bernyanyi...

"Dawn is coming, open your eyes, dawn is coming open your eyes, dawn is coming open your eyes, look into the sun as the new days rise..."

Title : Dawn is Coming
SketchART : Sabi
Lyric taken from Jose Gonzalez's song : Stay Alive.
HD Version download : http://esabiwibowo.deviantart.com/…/Dawn-Is-Coming-Open-You…



Posted on Wednesday, January 14, 2015 by Unknown

No comments

Monday 5 January 2015

Entahlah kadang aku tak benar-benar butuh sesuatu yang pendar terang sinarnya terlalu menyiangi, cukup beberapa remahan titik temaram, sehingga ketika suatu hari aku memang harus dipertemukan denganmu aku tak akan merisihkan kilatan kilau yang membuat picing mata sepedihnya yang mengharuskanku kesulitan mengenali titik titik lengkung parasmu, pun karena itu aku akan memiliki alasan untuk menggandeng tanganmu memintamu menuntunku sampai sepenghabisan ceceran sisa temaram menuju ke suatu tempat yang terangnya berwarna-warna apik dan tidak menyilaukan seperti ini. Oh ya di sini di beberapa sudut, beberapa ruang yang memiliki titik-titik pandang ini sedang ramai menggelar sorot temaram, seharusnya aku sudah menemukanmu, hei kapan kita bisa bertemu?


Posted on Monday, January 05, 2015 by Unknown

No comments

Thursday 1 January 2015

Kadang ketika bepergian tujuan menjadi tidak begitu penting, dan yang berhasil dinikmati adalah perjalanannya.
Who lives enjoy, who travels enjoy more. Just Go.



Posted on Thursday, January 01, 2015 by Unknown

No comments

Monday 22 December 2014



Sial ini adalah hari Ibu tak ada yang istimewa sekali dari beliau kecuali jutaan pelajaran hidup yang sangat berharga. Ah kalian pasti akan ikut tak suka pada ibuku jika kalian gagal mencontoh sifat-sifat mulia yang beliau miliki.

Aku pernah membenci ibuku karena dia membiarkanku menunggu lama pada segala sesuatu yang kuminta tapi tak terturuti, tapi aku menjadi bisa belajar mengendalikan diri dan bersabar dari beliau.

Aku pernah membentak, menghajar hati ibuku remuk dengan sikap dan perbuatan-perbuatan nakalku sesekali waktu dan tiap kali itu beliau mengajarkanku kelemahlembutan dalam bersikap dan cara menghargai orang lain.

Aku pun sempat malu memiliki ibu seperti dia karena aku seperti menjadi seorang laki-laki tak berguna dalam hal-hal kecil yang biasanya malas kukerjakan, dan aku semakin malu jika tak bisa menjadi berani, hebat, teguh pendirian, selalu semangat, optimis, dan tak mempedulikan rasa lelah untuk berhasil menggapai sesuatu seperti beliau.

Kalian lihat gambarku yang duduk canggung di samping nisannya? Sial itu bukan nisan ibuku aku sempat salah berkunjung makam karena lupa letak makamnya, dasar aku anak tak begitu berbakti, tapi aku tak pernah lupa rasa pijitan lembut dibahuku kala aku merengek kecapaian, aku tak pernah lupa tak sanggup berhitung pada hitungan banyaknya bintang di langit jika harus menghitung satu-satu pelajaran-pelajaran kehidupan berharga yang memancar terang dari beliau.

Terkadang aku masih sering membenci dan ingin meremukkan kenangan-kenangan indah bersama beliau karena ketika teringat aku seperti remuk redam, benci dan malu pada diriku sendiri dengan sering dibarengi suara sesenggukanku. Ketiadaan beliau sekarang ini menjadikanku ingin dilahirkan menjadi Doraemon kemudian berselancar dengan mesin laci waktunya ke masa lalu menebus segala bentuk kenakalan dan rasa kecewanya beliau kuganti dengan bakti tulus penuh hormat dan handal dalam mebahagiakan hatinya.


                     *******************

Sebuah bentuk cerita pendek diperuntukkan bukan untuk Ibu meski ini hari Ibu, untuk mereka yang kurang berbakti dan jarang mencium tangan dan pipi beliau, ayo lekas peluk dan berlomba berbakti selama setiap hari mumpung masih diberi kesempatan dibukakan telapak surga bagimu yang ada dari beliau.




Posted on Monday, December 22, 2014 by Unknown

1 comment

Tuesday 16 December 2014

Aku memang tak bersamamu, pun menyentuh sepersentuhan bayangan jemarimu aku tak bisa bahkan walau hanya di dalam mimpi-mimpi yang kupaksakan kubuat hampir setiap hari, kenapa ini? Entahlah yang kutahu aku begitu menjunjung tinggi sosokmu.


Kau selalu bisa mengisi rasa kekosonganku, dengan potret-potretmu tentang kau yang sedang coba mengajariku nyanyian ombak, dengan kau yang segenap hati menyemangatiku saat kelelahan mengejar sesuatu di depan, dengan kau yang coba menepuk pundakku dengan kata-kata kerelaan beserta segenap besarnya hati saat aku gagal, kecewa dan menghentikan pengejaranku tentang sesuatu yang di depan itu. Dengan aroma kembang senyummu yang khas kau selalu menyela keluhku,


"Tak apalah, setidaknya kita pernah menunjukkan kepada beberapa orang di belakang kita, kita bisa menyalip, melampui dan pernah lebih baik dari mereka!"


Karena itu aku tak pernah ingin pisah dan pergi begitu saja dari kehidupan bersama ini, jitak saja kepalaku jika aku suatu hari akan mengucapkan selamat tinggal untukmu, bahkan aku berani bertaruh dengan segala ketetapan hati!
Kau tidak akan percaya bahwa yang akan aku ungkapkan ini adalah cerita terbaik yang pernah kau dengar selama hidupmu;


Aku tak hanya mengagumi elok paras rupawanmu, lebih dari itu ungkapannya perasaanku kepadamu itu seperti ketika kau begitu bahagianya melihat pantai, laut, pelangi, mimpi-mimpi, bintang jatuh, rumah kayu yang cantik, dan segala imajinasi indah yang pernah bisa kau bayangkan,


Baiklah aku akan coba akur kepada waktu, kepada kesempatan yang tak berpihak, kepada segala yang membatasi gerak mimpi-mimpi dan sebuah harapan, berpura-pura membuat senang hati dengan seperti ini :


Aku memang tak pernah dilahirkan memiliki takdir beratapkan di satu langit yang sedang berawan sama denganmu dan bermain-main membuat napak jejak di satu tanah yang sama pula, tapi aku merasakan kau begitu dekat bersamaku, candamu, tawamu yang kadang terbahak-bahak itu, semangat mimpi-mimpi dan imajinasimu mewujud, menyampai di sekelilingku dengan menyerupa semilir angin yang sebagian kuhirup menjadi separuh nafasku, dan kadang-kadang kau hadir menjadi mataku, lalu bersama-sama menikmati kebahagiaan memandang langit, bintang, awan-awan, laut. Kau hadir dikebahagiaanku manapun, saat aku merasa nyaman dibeberapa kesempatan hidup, merasa diteduhi sesuatu, merasa hangat, aku yakin di situ jugalah kau sedang ada, menjelma penuh menutupi segala rasa kekurangan hati.


Baiklah kita sepakat ya? Jadi aku tetap akan ada bersamamu, di selalu-nya kau merasa aku selalu ada. Dan jika saat-saat tertentu kau sedang tidak mau bersamaku, maka sementara ombak dan nyanyian ini akan menumpah mengisi kekosonganku mengganti dan menanti kau yang ingin lagi bermain-main bersamaku.


"I wasn't yours and you weren't mine
Though I've wished from time to time
We had found a common ground
Your voice was such a welcome sound
How the emptiness would fill
With the waves and with your song
People find where they belong
Or keep on"
Short stories by Sabi, untuk mengesankan satu hati saja di sana. Tidak untuk yang lain-lain, lain hal, lain apapun.
SketchART by Sabi.
Lyric The Wolves and the Ravens by Rogue Valley.

Posted on Tuesday, December 16, 2014 by Unknown

No comments




Tak ada yang lebih nikmat dalam hal rindu-merindu selain menaruhkannya pada aroma perdu rerumputan bukit tua, pada koyak air embun-embun yang meranggas susut malu-malu saat matahari mulai menggelar sinarnya meraih segala apa yang bisa dikenai suam-suam hangat kilatan benderangnya,
pada akasia-akasia sepelemparan batu dari pinggir garis setapak yang bejajar,
yang tak pernah dipenati rasa enggan untuk terus selalu tegak merindang menunggui manusia-manusia yang tak usah peduli lewat kibas di hadapannya, pada bendi besi lusuh berpewarna delima merah kental yang berkecepatan beberapa lipat saja bila boleh dibanding dengan tenaga kanak-kanak, pada satuan segala hal yang membantu merupa apik dan menjadi utuh disangkarkan dalam potret ini, menjadikannya gampang mengutuhkan ingatan saat diriku ingin bersenang-senang balik berkitar ke ruang kenang seperti saat ini.


"We do not remember days; we remember moments."
~Cesare Pavese, The Burning Brand

Posted on Tuesday, December 16, 2014 by Unknown

No comments

Saturday 22 November 2014


Ayolah perdengarkan sebentar-sebentar saja, barang hanya sejenak tentang lesat-lesat semburat jingga di garis ufuk yang bersudut barat yang sedang bercengkerama dengan diriku sekarang ini, mereka ternyata selidik tahu jika aku tidak sedang menikmati mereka, mereka tahu kalau aku tidak sedang bersenang-senang di detik-per detik ujung sayunya menuju ke arah pudar lalu berlanjut menghitam pekat kemudian hilang tanpa ada berbekas, benarlah kau... Aku tidak sedang berbahagia melihat apa yang sebahagian besar para manusia menamainya dengan "sunset yang berparas indah", jika lebih dari ingin sekadar sebentar saja kau mau meluang cermat, cermatilah... Pada arak-arakan awan gumawan yang berbasuh bias warna jingga matang itu seperti sedang berlomba-lomba berberat lambai, seperti tak ingin dia hanya muncul pada saat penghabisan hari saja, yang hanya sebentar sekedar menjadi gincu penghias sendunya matahari ingin bersalam pisah,

"Aih, bukan bermaksud aku ingin berbantah menyela tentang takdir tugas yang diembankan kepadaku, tapi menjadi sesobek sinar penghabisan yang dicipta hanya sekadar redup-redup seperti ini sangatlah mengesalkan barang sekali-kali, kau tahu kenapa hei manusia? Karena aku berberat hati hanya sebentar saja muncul lalu bersudah enyah begitu saja, rampung sudah! Sedangkan kalian akan bersenang-senang memotretiku, berpose dengan segala riuh ceria perasaan kalian, kadang bahkan aku sempat mendapati diriku sedang beriri hati kepada kalian ini, kalian setelah menyelesaian urusan memandangiku di tempat yang bernama senja ini kalian akan berpulang ke rumah masing-masing, banyak kalian tertawa bersama-sama sambil berpaling menapak langkah menjauhiku, yang sebenarnya tak usah kau pergi dahulu aku pasti akan menghilang sendiri, kalian akan gampang hati menamai kesenangan ini sebagai sesuatu yang berakhir dengan indahnya saat bersamaan aku yang sedang dilenyap waktu, ah cepatlah kau sela aku tak akan rampung merajuk-rajuk!" Si semburat sisa letupan sinar panggang nan bengis matahari tadi siang itu mencoba mendesakku tanda pintanya untuk menimbrung berbalik pendapat.

"Oh, tidak kami sebagai pemuji ketiadataraan indahnya dirimu meski hanya segores atau kadang hanya nampak setengah sisa gorespun tidak pernah mendapati kami akan bertindak angkuh seperti itu, kami tentulah tetap cermat merasai apa saja dari sekadar siak wasangkamu kalau kami hanya menjadi penikmat senja belaka, kau lebih dari sekedar pengindah mata, penyejuk jiwa dan peneduh hati, saking sebagian dari kami saja yang tak bisa menggelar cakap atau bisa dengan mudahnya menawarimu untuk mendekat, menyesap secangkir teh bersama-sama kami, tentulah kami sangat sekali ingin lebih berakrab-akrab denganmu daripada sekadar memandangimu saja, ayolah jangan terus-terus bermendung murung, akan tambah digesa gelap saja nanti paras senja yang kami elu-elukan ini..."

Dia, si semburat yang tadi berkilat-kilat menyala kesal tapi tetap terpandang indah pada kami itu tak balik menyahut, malah kini digerus pudar mereka berlaun lambat merayap lenyap, tak berpamit...

"Ah sudahlah, besok akan aku teruskan dengan diperjelas, saat kembali bersua dan bercakap dengan kau ini wahai si selendang senja cantik, bahwa aku tetap salah seorang manusia yang akan tetap mencinta kalian hei si semburat jingga yang berkelebat-kelebat dengan eloknya setiap senja, akan kuberitahu kalian bahwa sebenar-benar jujur, hanya kalianlah sesuatu yang keemas-emasannya jauh maha tinggi dan lebih berharga dari logam mulia yang malah dari sejak awal dinamai emas itu, tunggulah di sini lagi pada esok hari, aku akan membujuk mesra kau untuk memudarkan semua kekesalanmu pada dirimu sendiri, yang kau harus lakukan adalah titi cermat memandang lalu mengenali dirimu sendiri yang simpanan indahnya belum benar-benar kau kenali, ah habis tara untuk menggambarkan gemulai pancaran indahmu dengan sekadar kata-kata."


Selamat menjelang petang wahai semburat berkilat jingga yang memburai indah nan elok melekuk cantik.

“Ô, Sunlight! The most precious gold to be found on Earth.”  Roman Payne

Posted on Saturday, November 22, 2014 by Unknown

No comments

Friday 14 November 2014

"Hei bang, dari sini Merapi itu terlihat kecil ya?"

"Padahal sebenar misal kitalah sesuatu yang mirip segores titik yang kecilnya tak berkesudahan, ya andaikata semesta ini menyerupa berlembar-lembar hikayat yang ceritanya tak habis didongeng beberapa turunan masa kita hanyalah berupa tanda bacanya saja, ada tapi tak dipedulikan hikmah."

" Tapi pekik pikirku menyelasar beda bang, adanya kita menurutku malah membuat lembaran hikayat-hikayat itu jadi lebih indah dibacakan, bukankah hikayat akan diverbalkan mengalur terstruktur? Nah saat kita bertutur butuh jeda, butuh sebentar-sebentar menyeru, memekik lewat tanda pukul, koma dan spasi yang bertaut menyambungkan kata perkata menuju cerita, biar berirama, yang jelas penyingkat cerita untuk segera mudah dipahami dan mudah menemu hikmah di suatu hikayat itu bang, jika tak ada tanda baca akan menjemukan sekali seperti saat kau berbual datar tak berperampungan bang, haha.. "

“Hahaha bisa sajalah kau ini… Ayok cepat turun, matahari mulai bengis saja melarung panasnya naik!”

Aku yang sedari tadi mendengar mereka bercakap, bergelegak tawa, kemudian menyudahi bincang-bincang, lalu melihatnya tatih pelan lanjut menapak turun hanya tetap bisa gagah berdiam tak kenal geming, ah mereka tetap sama saja seperti para manusia-manusia penjejak diriku lainnya, untuk meremukkan bosan karena berat tubuhku yang berbidang maha besar ini tancap akar tegap di tempat tak bisa ke mana-mana, aku akan bersiul, kalau saja mereka tahu angin-angin yang dihembus itulah riuh dendang siulku sedang bermelodi, mereka akan tahu dibalik lain sebenarnya makna tujuku adalah membuat sampah-sampah itu tertiup, membumbung tersapu, meninggi di telan enyah angkasa, aku tak pernah merasa seberkotoran seperti ini meski manusia-manusia ini menginjakiku, tapi aku cemburu pada serak-serak sampah yang tertumpuk menggunung menyaru lekuk bentuk tubuh indahku ini, baiklah usah kupikir aku tak seharusnya berpikir tugasku hanyalah terus menyembul tegap menemani merapi berperangai panas nan eksotis itu kata beberapa para manusia, baiklah aku akan bernyanyi saja,

"Berbalutkan pelita hatimu
di aku di aku dan kamu pasti kan kau melihat aku,
saat ku gapai puncak tertinggi bersama tujuh warna pelangi..."

Epilog

Dan gunung-gunungpun bernyanyi, orkestra alam ditabuh lewat berpoi-poi angin yang menyemilir sejuk dan cecar merdu kicau burung-burung hutan menemani kami menggilas sepanjang sisa urusan menyelesaikan perjalanan kali ini. What a beautiful trip.

Image Stolen from Vinka's Private Archieve
Short Dialogue and Photo Effect by Oten.


Quotes lyric from MALIQ & D'ESSENTIALS 's, Himalaya.

Posted on Friday, November 14, 2014 by Unknown

2 comments

Thursday 13 November 2014

Aku pernah memijak gunung dan mendaki dengan gegapnya ribuan alasan kesenenangan, tapi tak kudapati yang lebih merayu hati dan bisa membuatku tak tanggung membuang cinta di gunung-gunung selain pada perkenalan sesama pejalan yang berakhir karib, kemudian pada aroma rebusan air teh selama bincang-bincang guna penyeduhan rasa akrab yang lebih hangat, dan hal-hal berbasa-basi lainnya.

Hatiku tak benar-benar terantuk jatuh kemudian terserak buang pada pegunungan, tak pernah kudapati sekalipun meski rapatnya belukar semak-semak kusibak berharap menemu makna tentang apa yang sebenarnya kucari di gunung. 

Ya aku menemukan jawabannya, bukan pada karya skulptur Sang Maha Cipta berbentuk bidang bersudut tiga meruncing memuncak ini tapi pada cerita-cerita, pada menyederhanakan kesenangan dalam hal-hal yang menurutku bisa mudah memberi makna seperti di atas tadi.


“All mountain landscapes hold stories: the ones we read, the ones we dream, and the ones we create."
-George Michael Sinclair Kennedy-



Posted on Thursday, November 13, 2014 by Unknown

No comments

Tuesday 31 December 2013

Perjalanan kali ini sama aku gak direncanain dengan matang atau dengan mempersiapkan segala sesuatunya, karena perjalanan petualangan kecil kali ini diajak oleh teman-teman secara spontanitas aja.

Ketika pertama mereka mengajak dan tahu kalau tujuan perjalanan petualangan kecil kali ini adalah pantai langsung saja aku mengiyakan tanpa pikir lama-lama, kelamaan jadi pikiran malah gak jadi ikut, keburu ditinggal :D

So guys, awal planning kita memang udah rencana buat susur pantai itu istilah kami di sini, kalau lebih umumnya sih biasa dikenal dengan istilah tracking pantai, atau jelajah pantai.

Target yang kami tuju adalah pantai-pantai di daerah selatan tepatnya yang terletak di kabupaten Gunungkidul, Wonosari, Yogyakarta.

Perjalanan dari Solo sekitar hampir memakan waktu kurang lebih 3 jam perjalanan, itu sih kita pake acara berhenti nyari sarapan dan cek kembali perlengkapan bawaan. Kami mengambil jalur alternatif ke Gunungkidul, jalur di mana secara kondisi lalu lintas memang lebih aman karena hanya segelintir motor serta mobil yang berlalu lalang, tapi kekurangannya kebanyakan jalan tidak lebih lebar dari 3 meter hanya muat untuk berpapasan satu motor dan satu mobil serta kondisi lubang di sana sini yang lumayan lebar dan mengganggu. Tapi terlepas dari hal itu aku tetep menikmati banget perjalanan menuju ke daerah Gunungkidul memakai jalur alternatif yang memutar dan berkelok-kelok itu walau kata teman-teman itu merupakan jalur alternatif tercepat yang bisa kita lalui, dan memang hampir 60% lebih dikit sih menurutku kenikmatan petualangan kecil kali ini ya di perjalanan menuju ke pantainya,secara sepanjang perjalanan kita disuguhi pemandangan sawah dengan hamparan ijo-ijonya, pohon-pohon yang sedang rindang berfotosintesis, berjajar-jajar seakan tiada terputus menyemangati perasaan kami dengan udara yang sepoi-sepoi sejuk yang tetap bisa kami hirup dengan baik dibawah kepungan terik matahari yang kian siang kian menyengat tiada lelah, tapi panas terik yang menyengat seperti itu tadi gak begitu menjadi beban malah gak kami hiraukan sama sekali. Belum lagi saat melintasi jalan di sekitar tempat tinggal penduduk sekitar, pasar, dan beberapa tempat dengan suasana yang berbeda dari kampung kami, menjadikan kami seperti sedang melakukan perjalanan ke daerah jauh nan agak terpencil dengan membawa petualangan besar beserta segenap jiwa adventuring yang menggebu-gebu. Tiada yang lebih nikmat lagi saat itu yang sedang aku rasakan.

  Sayang selain kondisi jalan yang berlubang dan sempit yang bisa kita maklumi dan tidak begitu menjadi bahan kerisauan, kami masih harus juga menyingkirkan pemandangan dari papan-papan baliho, spanduk, umbul-umbul, atau poster dari gambar para caleg yang bertarung di pemilu legislatif tanggal 9 April mendatang, sangat tidak elok dan sedap dipandang mata, hanya menambah kesemrawutan dan 'sampah' bagi pemandangan ditengah indahnya hamparan sawah yang ijo dan memanjakan pemandangan kami.
Semoga ke depan pemerintah lebih bijak memberikan peraturan untuk penataan sistem kampanye yang lebih pro go green dan ramah lingkungan, lebih efektif dan membuang 'sampah-sampah' tersebut pada tempatnya.





Hampir berjibaku dengan jalanan yang menanjak dan turunan yang berkelok-kelok lebih dari 2 jam, perjuangan kami akhirnya berakhir dengan selamat di tujuan pertama kami : Pantai Siung.

Kata-kata atau ucapan ketakjuban kami tidak bisa kami terjemahkan dengan baik selain hanya bisa dibuat terdiam dan terpaku memutar mengitari pemandangan disekeliling daerah pantai semampu jangkauan mata kami memandang. Tidak perlu banyak waktu untuk ngangkat jempol buat pemandangan di pantai yang satu ini, dikelilingi oleh barisan bukit-bukit hijau yang rindang, air laut yang menjorok ke dalam melengkung membuat kondisi alam di sekitar pantai begitu nampak eksotis menyuguhkan lanskap yang begitu memanjakan mata. Tidak heran di pantai ini kami menjumpai banyak pengunjung yang mendirikan tenda dan berkamping di sana. Panas terik yang sangat menyengat yang memaksa kami menguras ion, mencucurkan keringat dengan deras dan mengeringkan tenggorokan kami pada sekitar pukul 12.30 WIB siang itu tidak menyurutkan kenikmatan petualangan kecil kami kali ini, kami pun malah sempat menjajal medan tracking yang lumayan menanjak ke salah satu tebing bagian timur di pantai ini untuk merasakan sensasi yang lebih menantang adrenaline kami.








Courtesy sarangpenyamun.files.wordpress.com







 



Setelah dirasa cukup untuk menyantap medan terjal tracking dan kenyang dengan jamuan pemandangan dari atas tebing sisi timur pantai tersebut kami segera mengemasi langkah kami untuk segera mungkin dibawa menuju ke tujuan petualangan kecil kami berikutnya menuju pantai selanjutnya yang tidak lebih dari 6 kilometer jauhnya ke sisi arah sebelah timur dari letak pantai Siung tujuan pertama kami tersebut.

Mengingat siang itu memang teriknya panas sinar matahari kian menjadi-jadi saja dan karena terbatasnya durasi waktu petualangan kecil kami kali ini semakin membuat kami cepat beranjak untuk melanjutkan petualangan dengan tema jelajah pantai ini.

Dan tujuan kami berikutnya sudah pasti pantai yang berjarak tidak jauh dari pantai pertama yang kami singgahi ini, berada di sebelah timur dengan menempuh perjalanan tidak kurang dari 20 menit.

Baru di sinilah kami merasakan sulitnya mengakses fasilitas atau akomodasi dasar bagi kenyamanan setiap turis yang ingin berkunjung dan menikmati resort yang disajikan alam dengan begitu indahnya ini. Sulitnya ketersediaan air, jaringan listrik yang belum menjangkau wilayah ini, serta berbagai keperluan komunikasi lainnya seperti sinyal telpon seluler pun di sini menjadi kebutuhan yang sedikit langka bagi kami.

Tapi berbagai kendala tersebut tidak bisa mengurangi antusiasme kami melanjutkan petualangan kecil jelajah pantai yang sudah kami niati banget sejak awal kami berangkat merencanakan dari rumah kami sebelumnya. Kami pun tetap bisa dengan enjoynya menapaki setiap jengkal bentangan pantai Wediombo dari sisi sudut barat sampai titik sudut sebelah timur pantai tersebut yang kebanyakan di dominasi pula oleh bebatuan padas dan karang halus. Tidak diperlukan waktu lama untuk kami mencari jalur tracking pada pantai tersebut yang menghubungkan ke pantai berikutnya, Pantai Jungwok.










Salah satu dari kami sempat mengabadikan jalur tersebut yang tidak memakan waktu lebih dari 15 menit ini melalui rekaman video dari ponsel, Jalurnya tidak begitu berliku malah menyajikan bukit-bukit dengan alam sawah milik penduduk yang membelahnya. Tidak diperlukan keahlian khusus sebagai seorang pendaki profesional atau tracker handal dengan segala perangkat alat survivalnya, cewek dengan rok lebar dan panjang pun bisa melalui dengan baik medan tracking setapak yang merupakan salah satu jalur alternatif utama penghubung antara pantai Wediombo dan pantai Jungwok ini.
Untuk sedikit lebih detailnya aku comotkan foto yang aku ambil dari yohang.net :

Courtesy of http://i0.wp.com/yohang.net/wp-content/uploads/DSC_7166.jpg


 Dan di pantai Jungwok inilah kami memilihnya sebagai tempat istirahat siang kami, hampir 2 jam lebih kami menghabiskan waktu istirahat di sana, guling-guling di matras, gelindingan, mencari ikan di bibir pantai, dan bermain-main layaknya anak kecil yang kurang bahagia semasa hidup jaman kanak-kanaknya dulu.. ahahaha.

Aku pun sempat menjajal salah satu diantara 2 buah tebing yang berada terpisah dari daratan lepas yang seakan berdiri kokoh tegap tak lekang, tak tergerus ombak dan air lautan itu, yang berada di sisi kanan dan kiri pantai Jungwok. Sayangnya tidak ada teman yang berani ikut atau membawa kamera untuk mengabadikan moment yang mendebarkan karena berkaitan dengan tinggi dan kecuraman ini :D

Setelah dirasa cukup beristirahat dan berleha-leha menikmati keindahan pantai Jungwok dengan segala keeksotisan pemandangannya kami pun segera beranjak meneruskan petualangan kecil kami dengan rencana selanjutnya adalah kembali menuju pantai Wediombo dimana adalah tujuan akhir petualangan kami kali ini dengan menginap ala survivor dengan peralatan camping seadanya (tanpa tenda atau doom).

Dan di sinilah baru kami benar-benar merasakan bagian dari petualangan kecil jelajah pantainya, kami kembali ke pantai Wediombo menggunakan jalur berbeda, jalur tebing tepi pantai yang biasa di lalui para nelayan atau orang-orang yang berasal dari penduduk sekitar yang bermata pencaharian mencari ikan, jalur natural yang terbuat karena adanya aktifitas pasang dan surut air laut yang mungkin bisa saya perkirakan terbentuknya memakan waktu jutaan tahun sebelumnya. Setiap jengkal dari lekukannya benar-benar menggambarkan sebuah pahatan dan ukiran alam yang tidak bisa dibuat dan ditandingi oleh maha karya ciptaan tangan manusia dengan segala puncak keahlian seni tertingginya sekalipun. Really fuckin damn awesome!

Aku yakin jalur tracking yang bisa dianggap ekstrim ini jarang sekali peminat dari kalangan turis yang berani mencobanya karena selain alasan keselamatan juga karena mungkin sebagian besar dari kita belum mengetahuinya. Buat mereka yang gak suka berpetualang dengan membawa keberanian yang nanggung-nanggung atau cuma ala kadarnya diharuskan untuk mencobanya sendiri, gak lengkap rasanya berkunjung ke kedua pantai ini dengan melewatkan bagian petualangan di jalur tracking ekstrim ini. Tapi ingat jalur ini bisa dilalui hanya pada saat air laut sedang surut dan aman dilakukan pada siang hari yaitu antara sekitar pukul 15.00 sampai dengan 18.00 sore.

Selamat bertemu kembali dipetualangan selanjutnya dan selamat menikmati.
Boyolali, 26 Maret 2014
















Posted on Tuesday, December 31, 2013 by Unknown

No comments